PASAL PERTAMA
IMAN KEPADA ALLAH ‘AZZA WA JALLA
Maknanya :
Makna iman
kepada Allah Azza wa Jalla adalah :
‘meng-I’tikadkan diri secara benar-benar
bahwa Allah itu Rabb dari segala sesuatu (yang ada), Dialah yang menguasainya
(memilikinya) dan menciptakannya. Dan bahwa Dia adalah satu-satunya Zat yang
berhak diibadahi, baik yang menyangkut shalat, puasa, berdo’a, berharap, takut,
rendah diri, patuh, dan pasrah. Dan hanya Dia yang patut disifati dengan
sifat-sifat yang Maha Sempurna dan suci dari segala kekurangan-kekurangan.
Macam-macam
tauhid :
Beriman
kepada Allah SWT harus mencakup seluruh wilayah tauhid-Nya yang terdiri dari
tiga aspek, yaitu:
1.
TAUHID
RUBUBIYYAH
Makna secara ijmal (global) dari tauhid RUBUBIYYAH
adalah pengi’tikadan diri secara bulat-bulat bahwa Allah SWT itu Rabb dari
segala sesuatu, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Penjelasannya, bahwa Rabb di dalam bahasa berarti yang memiliki dan yang mengatur... lihat “Al Misbahul Munir”. Yang dimaksudkan dengan
Rububiyyah Allah terhadap makhluk-Nya adalah peng-Esaan Allah sebagai
satu-satunya Zat yang menciptakan mereka, menguasai (memiliki) mereka, dan yang
mengatur segala urusan mereka.
Atau dengan
kata lain, tauhid rububiyyah itu adalah:
“Suatu pernyataan bahwa Dia itu Maha Suci,
satu-satunya pencipta makhluk ini, penguasa dan pemilik makhluk semesta, yang
menghidupkan dan mematikan mereka, pemberi manfaat dan mudharat kepada mereka.
Dia pula yang menyambut do’a mereka ketika menghadapi kesulitan, Dialah yang
berkuasa untuk memberi dan menolak permintaan mereka, dan hanya kepada-Nyalah
segala urusan harus dikembalikan, sebagaimana Allah SWT berfirman tentang
diri-Nya:
“...ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta
alam”. (Al-A’raaf: 54)
Yang
termasuk ke dalam tauhid jenis ini adalah beriman terhadap ketentuan (qadar)
Allah SWT atau percaya bahwa setiap kejadian selalu bersumber dari ilmu Allah
SWT, iradat-Nya, dan qadrat-Nya. (Lihat Syarah Akidah Thahawiyyah, halaman
16-17).
Al-Qur’an
telah secara gemilang menerangkan perihal tauhid rububiyyah ini, dan
penyebutannya hampir tak pernah terlewat dari setiap surat yang ada dalam Al-Qur’an,
walau sekedar isyarat tentang adanya tauhid ini. Dan tauhid rububiyyah ini
merupakan azas dari jenis tauhid yang lain, sebab Al-Khalik, Al-Malik, dan
Al-Mudabbir hanyalah merupakan suatu yang patut bagi-Nya satu-satunya. Setelah
pengi’tikadan terhadap sifat-sifatNya ini, akan diikuti oleh pengarahan niat
untuk beribadah, khusyu’, dan khudluk (patuh) kepada-Nya.
Sebagai
kesimpulan dari uraian-uraian di atas, bahwa Al-Qur’anul karim telah
menyebutkan jenis tauhid rububiyyah ini dalam hal :
-Maqam “Pujian
itu hanyalah untuk Allah”
-Ibadah
segala niat dan maksud, hanya kepada-Nya
-Pengikatan
keyakinan dan kepasrahan secara total hanya kepada-Nya
-Hanya Dia
yang menyandang sifat-sifat yang Agung dan Asmaul Husna
Dalam hal
pujian, setiap muslim mengamalkannya di setiap rakaat dari shalat-shalatnya,
karena Surah Al-Fatihah ayat dua berarti “Segala puji hanya untuk Allah, Rabb
semesta alam”. Di dalam ayat yang lain disebutkan :
“Maka bagi
Allah-lah segala puji, Rabb langit dan Rabb bumi, Rabb semesta alam”. (QS.
Al-Jaatsiyah 36)
Dalam hal
kepasrahan (istislam) dan keyakinan kepada-Nya, Allah berfirman :
“...Kalataknlah
: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita
disuruh agar menyerahkan diri kepada Rabb semesta alam”. (QS.
Al-An’aam: 71)
Dalam hal
mengarahkan niat dan maksud hanya kepada Allah, ayat berikut ini menerangkan :
“Katakanlah
: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Rabb semesta alam”. (QS. Al-An’aam: 162)
Dalam hal
berwalikan Allah dan mengesampingkan perwalian-perwalian yang selain
kepada-Nya, dapat dilihat dari firman-Nya berikut ini :
“Katakanlah
: ‘Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit
dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan’? Katakanlah :
‘Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama sekali
menyerahkan diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan
orang-orang musyrik”. (QS. Al-An’aam: 14)
Dalam hl
berdo’a hanya kepada Allah, bisa kita perhatikan pada ayat berikut ini:
“Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanya hak Allah, Maha Suci Allah, Rabb semesta
alam”. (QS.
Al-A’raaf: 154)
“Berdo’alah
kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.
Al-A’raaf: 55)
Masih
menyangkut hal ibadah, di dalam ayat lain Allah berfirman:
“Hai
manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu,
agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit-langit sebagai atas, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizqi untukmu;
karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu
mengetahui”. (QS. Al-baqarah: 21-22)
Maka
sesungguhnya Dia itu pencipta langit dan bumi serta segala apa yang terkandung
di dalamnya. Dia adalah satu-satunya yang berhak dijadikan pelindung oleh
hamba-Nya, dan satu-satunya tempat hamba menyerahkan jiwanya, mengarahkan
do’anya, serta meluruskan niatnya.
2.
TAUHID
ULUHIYYAH
Makna secara
ijmali (global) dari tauhid ini adalah : Pengi’tikadan diri secara bulat-bulat
bahwa Allah SWT adalah ilahul-Haqq (yang berhak diibadahi) dan tidak ada illah
selain-Nya. Jadi dengan kata lain meng-EsakanNya dalam ibadah.
Penjelasannya,
arti kata illah adalah al-ma’luh
atau al-ma’buudat yaitu Zat yang
wajib diibadahi... (lihat Thariqul Wushul ilal ‘ilmil ma’muul, halaman 12).
Sedangkan
pengertian ibadah secara bahasa adalah menetapkan keyakinan dengan rendah diri
dan kepatuhan total. Sebagian ulama mendefinisikan ibadah dengan ungkapan:
“Bahwa kesempurnaan cinta selalu disertai oleh kesempurnaan kepatuhan”. (Lihat
syarah Qasidah Ibnul Qayyim, juz II halaman 259)
Makna tauhid
uluhiyyah itu jelas-jelas dibangun di atas prinsip “Ibadah secara ikhlas kepada Allah satu-satunya”, baik dalam
bathinnya maupun lahirnya, dengan ketentuan tidak menjadikan sesuatu ibadah
untuk tujuan yang selain Allah SWT. Oleh karena itu beriman kepada Allah harus
direalisasikan dengan mengabdi kepada Allah satu-satunya dan tidak menyembah
yang selain-Nya, ikhlas untuk bercinta hanya kepada Allah saja, hanya merasa
takut kepada-Nya, senantiasa berharap dan berdo’a kepada-Nya, bertawakkal,
taat, rendah diri, patuh, dan banyak lagi jenis serta ragam ibadah lainnya.
Dari sinilah
lahirnya Syahadah (sebuah kesaksian)
bahwa:
“TIDAK ADA ILLAH KECUALI ALLAH”,
Yangmana
kesaksian ini telah mencakup segala jenis tauhid yang tiga itu. Artinya, dengan
bersaksi demikian otomatis juga bersaksi terhadap tauhid rububiyyah-Nya dan
tauhid Asma dan sifat-sifat-Nya.
Berkata ibnu
thaimiyah:
“Tauhid inilah (uluhiyyah) yang membedakan
antara orang-orang yang bertauhid (murni) dengan orang-orang musyrik, dan
atasnya ditimpakan balasan dan pahala, baik pada waktu permulaannya maupun
detik terakhirnya. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi kriteria tauhid
uluhiyyah, maka dia itu termasuk dalam golongan orang-orang musyrik”. (Risalah Hasanah was Sayyi’ah, Ibnu
Taimiyyah, halaman 261)
Jika tauhid
uluhiyyah ini merupakan hakikat dienul Islam maka dua kalimat syahadat
merupakan gerbang dari rukun-rukun Islam.
Rasulullah
SAW bersabda:
“Islam itu dibangun di atas lima dasar:
Kesaksian bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan kesaksian bahwa Muhammad itu
rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan, dan pergi
hajji”. (HR Bukhari Muslim)
Konsekuensi-konsekuensi
Tauhid Uluhiyyah:
a.
Kewajiban
ikhlas untuk bermahabah hanya kepada Allah SWT.
Dan tidaklah patut seorang hamba
itu mengambil tandingan bagi Allah dalam kecintaan, sehingga dia mempunyai
kadar cinta yang sama dengan yang selain-Nya, atau justru lebih mengutamakan
cintanya kepada yang selain-Nya itu dibanding kepada Allah SWT. Barangsiapa
melakukan hal semacam ini maka dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
b.
Kewajiban
meng-Esakan (memfokuskan tujuan kepada) Allah dalam hal berdo’a, berharap,
bertawakkal, dll.
Seorang hamba harus memfokuskan
do’a-do’anya, harapannya dan lainnya, hanya kepada Allah SWT, karena hanya
Dialah yang mampu dan kuasa untuk menerima semua itu.
c.
Wajib
memfokuskan tujuan (satu-satunya) kepada Allah disertai rasa takut (dari
siksanya).
Jika seseorang meyakini bahwa
mudharat itu juga bisa datang karena yang selain-nya (karena makhluk-makhluk),
atas kehendak dan kekuasaan makhluk tersebut, sehingga dia merasa takut
kepadanya, maka dengan sikapnya ini telah jatuhlah dia kepada syirik
mensekutukan Allah). Perlu difahami bahwa takut dalam artian ibadah berbeda
dengan takut dalam artian fitrah. Takut dalam artian ibadah hanya sah
(dibenarkan) kepada Allah SWT saja, dan maknanya manusia meyakini bahwa
datangnya mudharat itu hanya atas kehendak dan kekuasaan Allah semata,
sedangkan yang selain-Nya tidak akan mampu memberikan mudharat sedikitpun
terhadap sesama makhluk. Adapun jenis takut secara fitrah, salah satu contohnya
adalah takut kepada binatang buas.
d.
Wajib
memfokuskan tujuan satu-satunya kepada Allah dalam berbagai jenis ibadah
badaniyah.
Contoh-contoh dari kewajiban
jenis ini adalah dalam hal memfokuskan tujuan shalat, ruku’, sujud, shaum, penyembelihan
hewan korban, thawaf, dan berbagai ibadah qauliyah (ucapan) seperti nadzar,
istighfar, dll.
Seluruh jenis ibadah di atas dan
juga jenis lainnya yang tidak dicantumkan, wajib ditujukan hanya kepada Allah
dan ikhlas karena-Nya. Barangsiapa yang menyimpang dari ketentuan itu
(ibadahnya tidak ditujukan kepada Allah), maka dia telah syirik.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari
syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
sesuatu dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisaa’:
116)
3.
TAUHID ASMA’
WA SIFAT
Makna secara
ijmali (global) dari tauhid asma dan sifat ini adalah “Peng-i’tikadan diri
secara bulat-bulat bahwa Allah SWT patut menyandang sifat-sifat kesempurnaan,
bersih serta suci dari sifat-sifat kekurangan/kelemahan, bahwa Dia adalah
satu-satunya yang patut menyandang sifat-sifat kesempurnaan tersebut.
Asas (dasar) dari tauhid asma dan sifat:
Pertama; Mensucikan
dan meninggikan Allah dari hal yang menserupakan-Nya dengan makhluk, atau dari
suatu kekurangan.
“Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (Asy-Syura: 11)
Termasuk
dalam tauhid ini adalah peng-I’tikadan bulat-bulat untuk mengakui bahwa Allah
SWT memerintahkan agar mensucikan-Nya, Dia bersih dari beristeri, bersekutu,
tidak ada bandingan kesamaan, tidak ada syafaat (tanpa izin Allah), dan bersih
berlindung dari kerendahan. Allah SWT juga bersih dan tidak memerlukan tidur,
tidak mengantuk, capik/lelah, mati, bodoh, zalim, lupa, lalai, dan lain-lain
sifat yang merupakan sifat-sifat kekurangan.
Asas Kedua: yaitu memenuhi kewajiban untuk menerima
ketetapan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah, sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an atau sunnah.
Pemenuhan
kewajiban ini dikaitkan dengan metod
pendengaran, bukan dengan akal
pikiran atau pendapat akal. Oleh
karena itu janganlah sekali-kali mensifati / memberi nama-nama Allah kecuali
dengan sifat-sifat dan nama-nama yang telah ia berikan sendiri atau dengan
sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW
kepada-Nya, sebab Aooay ‘Azza wa Jalla lebih mengetahui tentang diri-Nya
sendiri, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya, daripada hamba-Nya.
Asas Ketiga; yaitu dituntuk bagi mukmin (hamba) yang
mukallag untuk mengimani sifat-sifat dan asma-asma yang nash-nashnya jelas
tertera di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tanpa perlu membahas atau
mempersoalkan visualisasinya.
“Hal
menyamakan itu dapat dimaklumi, sedang memvisualisasikan termasuk tindakan
kebodohan. Mengimani yang demikian itu wajib, sedangkan menanyakan hal
visual-Nya adalah bid’ah”. (Lihat Ar-Raudhatun Nadiyyah, halaman 29)
Para Ulama
Salaf sepakat, bahwa pemvisualisasian sifat-sifat Allah tidak dapat dimaklumi,
sedangkan menanyakan hal tersebut termasuk tindakan bid’ah.
w
Kapan Tauhid Asma dan Sifat Menjadi Cacat
a. At-Tasybih
(menyerupakan)
Yang dimaksud disini adalah
menyerupakan sifat-sifat Khaliq dengan sifat-sifat makhluk-Nya, seperti halnya
kaum Nashara menyerupakan Al Masih bin Maryam dengan Allah SWT; atau kaum
Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah; atau kaum musyrikin yang
menyerupakan patung-patung dengan Allah; atau seperti yang terjadi pada
golongan Thawa’if yang menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk, Yadullah
dengan tangan makhluk, pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk dan
lain-lain hal sejenisnya. (Ar-Raudhatun
Nadiyyah, halaman 35)
b. Membelokkan
makna dengan takwil (tafsir bebas), atau merubah, atau mengganti dengan
pengertian lain.
Contohnya dengan menasabkan
lafadh Jalalah, untuk menafikkan (menyingkirkan) sifat Al-Kalam dari-Nya Allah
SWT. Adapun jalan terdekat untuk menuju keselamatan di dalam masalah sifat ini,
manhaj salaf melakukannya dengan menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan Allah
untuk diri-nya. Tidak melakukan takwil (tafsir bebas) apalagi yang secara
sempit, dan tidak menyerupakan sesuatu yang tidak layak dengan keagungan Allah
serta ke-Esaan-Nya.
c. At-Ta’thiil
(pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah)
Yang dimaksud adalah pengingkaran
terhadap sifat-sifat ilahiyyah, yakni pengingkaran terhada kedudukan sifat itu
dari Zat Allah SWT, seperti mengingkari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung
dari kesempurnaan dan kesucian-Nya, dan yang demikian itu berarti menyangkal
asma-nya dan sifat-Nya.
d. At-Talyiif
(penggambaran secara visual)
yang dimaksud disini adalah
memvisualisasikan sifat-sifat Allah dan membuat (menetapkan) kiasannya.
w
Jenis-jenis Sifat Allah SWT
Menurut Al-Kitab dan As-Sunnah,
ada dua jenis sifat Allah yakni sifat
dzatiyah dan sifat fi’il, (sebagaimana disebutkan dalam Al-Asilah wal
Ajwibah, halaman 48)
Yang menyangkut sifat dzatiyah
adalah sifat-sifat yang tidak pernah terlepas dari sisi Allah SWT, seperti
Nafs(jiwa), ilmu, hayah(hidup), wajah, kalam, qidam, malik, ‘idhomah, kibriya’,
‘ulwun, ghinaa, rahmah, dan hikmah. Dan sebagai penguatnya, sifat-sifat ini
lazim bagi Allah SWT, sudah pasti berada dalam diri-Nya, dan tidak bisa
terpisahkan dari-Nya.
Adapun sifat fi’il adalah
sifat-sifat yang menyangkut kehendak Allah dan kekuasaan-nya, seperti: istiwa’,
nuzul(turun), ta’jub, tertawa, ridha, cinta, tidak suka, benci, gembira, marah,
makar, tipu daya, dan lain-lain.
“Hai Abu Mundzir, tahukah anda satu ayat dari
Kitabullah yang agung nilainya bagi Anda’? Dia berkata: ‘Aku pikir Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui mengenai hal itu’.
Pertanyaan itu diulang kembali oleh
Rasulullah, kemudian Abu Mundzir menjawab: ‘Allah tidak ada ilah melainkan Dia,
Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)’. Ia pun berkata
lagi: ‘Beliau menepuk dadaku, seraya berkata: “Demi Allah, Dia pasti memberi
kemudahan ilmu bagimu hai Abu Mundzir”.
(Shahih Muslim Syarah Nawawi, jilid VI
halaman 93)
YANG MENGUATKAN
YANG MEMBATALKAN IMAN
KAJIAN RINCI DUA KALIMAH SYAHADAH
Dr.
Muhammad Na’im Yasin
0 komentar:
Posting Komentar