Jumat, 20 April 2012

BERTAMBAH DAN BERKURANGNYA IMAN (hakekat IMAN)

Posted by Nis |


HAKEKAT IMAN
(pendahuluan)

 Mungkin kita sudah sepakat bahwa hakekat iman merupakan perkara yang wajib kita imani, akan tetapi apa sebenarnya hakekat iman itu.? Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan masalah ini dan secara umum semuanya terbagi menjadi dua pernyataan.


PENDAPAT PERTAMA,
Menyatakan bahwa iman adalah sebuah istilah yang terdiri atas tiga unsur, yaitu: pengikraran dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pengamalan dengan anggota badan. Pernyataan ini merupakan pendapat segolongan besar ahlussunnah. Adapun pernyataan-pernyataan yang memperkuat pendapat ini adalah:
·         Pernyataan Shariah:
“Madzab Ahlussunnah berpendapat bahwa iman itu adalah membenarkan dengan hati, mengamalkan dengan anggota badan, dan mengucapkan dengan lisan”
·         Pernyataan Imam Syafi’’i:
“Ijmak para sahabat dan tabi’in setelah mereka dan generasi penerus mereka berpendapat, bahwa iman itu terdiri dari ucapan, amalan, dan niat (kata hati), yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan”.
·         Pernyataan Imam Ahmad:
“Iman adala ucapan (lisan dan hati) yang diikuti oleh amal perbuatan. Pendapat ini sesuai dengan pandangan ahlussunnah”.


PENDAPAT KEDUA,
Bahwa iman adalah sebuah istilah yang berdiri di atas pernyataan ikrar dengan lisan dan pembenaran dengan hati sedangkan amalan dengan anggota badan tidak termasuk ke dalamnya. Walaupun demikian, bukan berarti mereka mengesampingkan amalan oleh anggota badan. Mereka yang mendefinisikan iman hanya pada ikrar dan tashdiq (pembenaran) ini berpendapat bahwa mengamalkan setiap yang sah dari Rasulullah SAW (yaitu berupa syari’at dan penjelasan-penjelasan) adalah hak dan wajib bagi setiap muslim. (Lihat akidah Thahawiyah beserta syarahnya, halaman 373; Kitab Al Irsyad Al Juwaini halaman 399; Fiqh Akbat halaman 87-88).

KESIMPULAN DARI KEDUA PENDAPAT;
1.      Telah menjadi kesepakatan bahwa manusia tidak dikatakan beriman jika mereka mengikrarkan syahadatain dengan lisan secara dhahir saja, sedangkan hatinya tidak membenarkan apa yang dia ucapkan (hatinya dusta). Yang tergolong ke dalam manusia jenis ini adalah kaum munafik, di mana tentang mereka ini Allah SWT memberitakan kepada kita bahwa kelak mereka akan mendapat siksaan yang pedih, dan mereka itu berada di bagian dasar neraka yang paling dalam. (Lihat Syarah Nawawi, Shahih Muslim, jilid I halaman 147)

2.      Telah menjadi kesepakatan juga bahwa ma’rifat (pendekatan) dengan hati saja tidaklah cukup untuk mentahqiqkan (mewujudkan) nama iman. Oleh karena itu haruslah disertai dengan ma’rifah tashdiq (membenarkan) apa yang ada dalam hatinya dengan cara pengikraran secara lisan. Dalam hal ini bisa kita ambil contoh kasus Fir’aun dan kaumnya yang mengakui kebenaran Musa dan Harun As., akan tetapi mereka tetap saja dalam kekafiran (pengakuannya yang sebatas itu tidak membawanya kepada iman).
Contoh lain adalah apa yang terjadi pada diri ahli kitab; mereka itu mengetahui akan kenabian Rasulullah SAW, akan tetapi mereka tidak mau mengimaninya.
Tentang masalah tahu tapi kafir ini, sesungguhnya iblispun mengenal Rabb-Nya, akan tetapi mereka itu paling depan dalam kekafirannya. (Lihat Kitab Al-Iman, oleh Qasim bin Sulam, halaman 102; Syarah Akidah Thahawiyah, halaman 373)
Oleh karena itu, ahlussunnah bersepakat untuk menyatakan bahwa oleh karena mereka itu seorang Mukmin yang berhukum kepada-Nya maka dia itu termasuk ahlul qiblah dan baginya tidak kekal di dalam neraka. Dan predikat ahlul qiblah ini tidak akan sampai kepada seseorang, kecuali yang hatinya mengi’tikadkan pada Dinul islam dengan seyakin-yakinnya serta bebas dari kerau-raguan, dan dia mengikrarkan dua kalimat syahadat. Jika kedua perkara tersebut di atas tidak dipenuhinya, maka dia tidak termasuk ahlul qiblah.

3.      Ahlus sunnah bersepakat untuk menyatakan bahwa yang dituntut Allah dari hamba-Nya tidak saja ucapan atau perbuatan, tetapi kedua-duanya. Dan yang dimaksud dengan ucapan di sini adalah ucapan hati (tashdiq=membenarkan) dan ucapan lisan (pengikraran).

4.      Ahlus sunnah juga bersepakat untuk menyatakan bahwa seorang hamba yang sudah membenarkan dengan hatinya serta mengikrarkan dengan lisannya, tetapi menolak untuk mengamalkannya dengan anggota badannya, termasuk bermaksiat kepada Allah SWT dan rasul-Nya, dan baginya berhak mendapat ancaman seperti yang telah disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, dan telah diberitakan Rasulullah SAW di dalam haditsnya. (Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah halaman 374)

5.      Ahlus sunnah juga bersepakat untuk tidak menggolongkan kafir kepada pelaku-pelaku maksiat besar, selama mereka itu tidak menghalalkan perbuatan tersebut, walaupun dia mati sebelum bertaubat dari dosanya. Baik jumhur ahlussunnah (yang menempatkan amal perbuatan sebagian bagian dari iman), maupun Abu Hanifah dan pengikutnya (yang mengeluarkan amal perbuatan dari bagian dari iman), mereka sama-sama sepakat untuk tidak memasukkan dalam golongan kafir dengan tiadanya amalan. Jumhur ahlussunnah masih bisa mentolelir keimanan seseorang akibat tiadanya amal, asal mereka tidak mengkufuri apa yang telah diikrarkan lisannya dan dibenarkan hatinya. (Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah, halaman 375)

6.      Tidak ada perbedaan antara ahlus sunnah yang telah memberi ta’rif iman meliputi ucapan, pembenaran, dan amalan; dengan yang memberi ta’rif iman meliputi pembenaran dengan hati dan pengucapan dengan lisan saja (pengucapan dua kalimat syahadat). Yang pertama memandangnya dari segi yang berkaitan dengan apa yang ada di sisi Allah SWT dan menyatakan berhak mendapat surga serta tidak kekal dalam api neraka bagi mereka yang mengakui (ketauhidan)-Nya, sedangkan yang kedua berorientasi kepada hukum-hukum duniawi dan menyatakan barangsiapa yang telah mengikrarkan keduanya maka ia berhak dikenai hukum dunia (sebagai seorang Muslim), dituntu untuk memenuhi kinsekuensi yang diikrarkan itu, dijamin hak-haknya sebagai muslim, dan tidak dihukum sebagai kafir kecualli jika melakukan hal-hal yang dapat membatalkan ucapan dan amalannya tersebut. (Lihat Fathul Barii, jilid I halaman 39-40)
Tentang masalah ini bisa kita rujuk hadits dari Usamah bin Zaidra., yang berkata:
“Rasulullah SAW telah mengutus kami untuk pergi berperang ke Huraqah, termasuk perkampungan Juhainah. Kami menyerang mereka pada waktu subuh dan dapat memukul mundur mereka. Aku dan seorang sahabat dari golongan Anshar dapat mengejar seorang prajurit mereka. Ketika ia kami todong, tiba-tiba ia mengucapkan Laailaaha illallah. Sahabatku itu cepat-cepat menarik senjatanya, sedangkan aku terus mengarah anak panahku kepada prajurit itu sehingga ia tewas. Selanjutnya Usamah berkata lagi: ‘Ketika kami tiba kembali di Madinah berita ini sampai kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadaku: ‘hai Usamah! Kenapa kau bunuh prajurit itu padahal dia telah mengucapkan Laaillaaha illallah?’ Jawabku: ‘Dia mengucapkannya karena hendak melindungi dirinya dari senjataku’. Tanya Nabi lagi: ‘Kenapa kau bunuh.. (terus menerus mengulang pertanyaan itu, sehingga aku merasa diriku seperti belum masuk islam”. (Shahih Muslim, syarah Nawawi, jilid II halaman 99)


Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW sempat bertanya:
“apakah telah kau belah hatinya?”, sesungguhnya dengan ucapan lisannya itu sudah cukup baginya untuk menunjukkan perbuatan lahiriyahnya, adapun masalah hati itu bukan urusan kita, kita tidak tahu persis apa yang berada di dalamnya (ucapan hati itu)



­_____________

YANG MENGUATKAN
YANG MEMBATALKAN IMAN
KAJIAN RINCI DUA KALIMAH SYAHADAH
Dr. Muhammad Na’im Yasin





"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar". (QS: 49:15)
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang ciri dari orang-orang yang beriman. Dalam hati mereka tidak ada lagi keraguan untuk percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan keyakinannya itu dibuktikan dengan kesungguhan mereka dalam hal yang berhubungan dengan harta dan jiwa mereka. Maka dikatakan dalam akhir ayat tersebut, mereka adalah orang-orang yang benar.

Penjelasan dari kutipan buku di atas, dan dari pelajaran-pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan sejak dini pun, diterangkan bahwasanya iman itu mencakup; meyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dalam perbuatan. *apal.. sinau wis pirang tahun,, nganti gak appall.. kebuangeten bgtt.
Kemudian aplikasi iman di hati itu sendiri menjadi hal yang puaaling utama. Dimana iman menjadi pokok sebuah keislaman. Dan sebab iman itulah setiap ujian, cobaan, dan rintangan akan terasa ringan. Beruntunglah Allah SWT telah memberikan hidayah, nikmat paling agung dari segala nikmat yang ada, yaitu keimanan.

Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu” (Al-baqarah:143)

Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: Aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)

Semoga Allah menjaga Iman dalam hati kita,, dan tentu saja, itu tidak lepas dari peran serta diri kita sendiri dong…

Keep spirit..!!


-----Perpus Pusat UII, 20 April 2012-----
Ba'da Ashar 

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger