HAKEKAT IMAN
(pendahuluan)
Mungkin kita sudah sepakat
bahwa hakekat iman merupakan perkara yang wajib kita imani, akan tetapi apa
sebenarnya hakekat iman itu.? Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan
masalah ini dan secara umum semuanya terbagi menjadi dua pernyataan.
PENDAPAT PERTAMA,
Menyatakan
bahwa iman adalah sebuah istilah yang terdiri atas tiga unsur, yaitu:
pengikraran dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pengamalan dengan anggota
badan. Pernyataan ini merupakan pendapat segolongan besar ahlussunnah. Adapun
pernyataan-pernyataan yang memperkuat pendapat ini adalah:
·
Pernyataan
Shariah:
“Madzab Ahlussunnah berpendapat bahwa iman
itu adalah membenarkan dengan hati, mengamalkan dengan anggota badan, dan
mengucapkan dengan lisan”
·
Pernyataan
Imam Syafi’’i:
“Ijmak para sahabat dan tabi’in setelah
mereka dan generasi penerus mereka berpendapat, bahwa iman itu terdiri dari
ucapan, amalan, dan niat (kata hati), yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisah-pisahkan”.
·
Pernyataan
Imam Ahmad:
“Iman adala ucapan (lisan dan hati) yang
diikuti oleh amal perbuatan. Pendapat ini sesuai dengan pandangan ahlussunnah”.
PENDAPAT KEDUA,
Bahwa iman adalah sebuah istilah yang berdiri di atas
pernyataan ikrar dengan lisan dan pembenaran dengan hati sedangkan amalan
dengan anggota badan tidak termasuk ke dalamnya. Walaupun demikian, bukan
berarti mereka mengesampingkan amalan oleh anggota badan. Mereka yang
mendefinisikan iman hanya pada ikrar dan tashdiq (pembenaran) ini berpendapat
bahwa mengamalkan setiap yang sah dari Rasulullah SAW (yaitu berupa syari’at
dan penjelasan-penjelasan) adalah hak dan wajib bagi setiap muslim. (Lihat
akidah Thahawiyah beserta syarahnya, halaman 373; Kitab Al Irsyad Al Juwaini
halaman 399; Fiqh Akbat halaman 87-88).
KESIMPULAN DARI KEDUA PENDAPAT;
1. Telah
menjadi kesepakatan bahwa manusia tidak dikatakan beriman jika mereka
mengikrarkan syahadatain dengan lisan secara dhahir saja, sedangkan hatinya
tidak membenarkan apa yang dia ucapkan (hatinya dusta). Yang tergolong ke dalam
manusia jenis ini adalah kaum munafik, di mana tentang mereka ini Allah SWT
memberitakan kepada kita bahwa kelak mereka akan mendapat siksaan yang pedih,
dan mereka itu berada di bagian dasar neraka yang paling dalam. (Lihat Syarah
Nawawi, Shahih Muslim, jilid I halaman 147)
2. Telah
menjadi kesepakatan juga bahwa ma’rifat (pendekatan) dengan hati saja tidaklah
cukup untuk mentahqiqkan (mewujudkan) nama iman. Oleh karena itu haruslah
disertai dengan ma’rifah tashdiq (membenarkan) apa yang ada dalam hatinya
dengan cara pengikraran secara lisan. Dalam hal ini bisa kita ambil contoh
kasus Fir’aun dan kaumnya yang mengakui kebenaran Musa dan Harun As., akan
tetapi mereka tetap saja dalam kekafiran (pengakuannya yang sebatas itu tidak
membawanya kepada iman).
Contoh lain adalah apa yang terjadi pada diri ahli kitab; mereka
itu mengetahui akan kenabian Rasulullah SAW, akan tetapi mereka tidak mau
mengimaninya.
Tentang masalah tahu tapi kafir ini, sesungguhnya iblispun
mengenal Rabb-Nya, akan tetapi mereka itu paling depan dalam kekafirannya.
(Lihat Kitab Al-Iman, oleh Qasim bin Sulam, halaman 102; Syarah Akidah
Thahawiyah, halaman 373)
Oleh karena itu, ahlussunnah bersepakat untuk menyatakan bahwa
oleh karena mereka itu seorang Mukmin yang berhukum kepada-Nya maka dia itu
termasuk ahlul qiblah dan baginya
tidak kekal di dalam neraka. Dan predikat ahlul qiblah ini tidak akan sampai
kepada seseorang, kecuali yang hatinya mengi’tikadkan pada Dinul islam dengan
seyakin-yakinnya serta bebas dari kerau-raguan, dan dia mengikrarkan dua
kalimat syahadat. Jika kedua perkara tersebut di atas tidak dipenuhinya, maka
dia tidak termasuk ahlul qiblah.
3. Ahlus
sunnah bersepakat untuk menyatakan bahwa yang dituntut Allah dari hamba-Nya
tidak saja ucapan atau perbuatan, tetapi kedua-duanya. Dan yang dimaksud dengan
ucapan di sini adalah ucapan hati (tashdiq=membenarkan) dan ucapan lisan
(pengikraran).
4. Ahlus
sunnah juga bersepakat untuk menyatakan bahwa seorang hamba yang sudah
membenarkan dengan hatinya serta mengikrarkan dengan lisannya, tetapi menolak
untuk mengamalkannya dengan anggota badannya, termasuk bermaksiat kepada Allah
SWT dan rasul-Nya, dan baginya berhak mendapat ancaman seperti yang telah
disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, dan telah diberitakan Rasulullah SAW di dalam
haditsnya. (Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah halaman 374)
5. Ahlus
sunnah juga bersepakat untuk tidak menggolongkan kafir kepada pelaku-pelaku
maksiat besar, selama mereka itu tidak menghalalkan perbuatan tersebut,
walaupun dia mati sebelum bertaubat dari dosanya. Baik jumhur ahlussunnah (yang
menempatkan amal perbuatan sebagian bagian dari iman), maupun Abu Hanifah dan
pengikutnya (yang mengeluarkan amal perbuatan dari bagian dari iman), mereka
sama-sama sepakat untuk tidak memasukkan dalam golongan kafir dengan tiadanya
amalan. Jumhur ahlussunnah masih bisa mentolelir keimanan seseorang akibat
tiadanya amal, asal mereka tidak mengkufuri apa yang telah diikrarkan lisannya
dan dibenarkan hatinya. (Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah, halaman 375)
6. Tidak
ada perbedaan antara ahlus sunnah yang telah memberi ta’rif iman meliputi
ucapan, pembenaran, dan amalan; dengan yang memberi ta’rif iman meliputi
pembenaran dengan hati dan pengucapan dengan lisan saja (pengucapan dua kalimat
syahadat). Yang pertama memandangnya dari segi yang berkaitan dengan apa yang
ada di sisi Allah SWT dan menyatakan berhak mendapat surga serta tidak kekal
dalam api neraka bagi mereka yang mengakui (ketauhidan)-Nya, sedangkan yang
kedua berorientasi kepada hukum-hukum duniawi dan menyatakan barangsiapa yang
telah mengikrarkan keduanya maka ia berhak dikenai hukum dunia (sebagai seorang
Muslim), dituntu untuk memenuhi kinsekuensi yang diikrarkan itu, dijamin
hak-haknya sebagai muslim, dan tidak dihukum sebagai kafir kecualli jika
melakukan hal-hal yang dapat membatalkan ucapan dan amalannya tersebut. (Lihat
Fathul Barii, jilid I halaman 39-40)
Tentang masalah ini bisa kita rujuk hadits dari Usamah bin
Zaidra., yang berkata:
“Rasulullah
SAW telah mengutus kami untuk pergi berperang ke Huraqah, termasuk perkampungan
Juhainah. Kami menyerang mereka pada waktu subuh dan dapat memukul mundur
mereka. Aku dan seorang sahabat dari golongan Anshar dapat mengejar seorang
prajurit mereka. Ketika ia kami todong, tiba-tiba ia mengucapkan Laailaaha
illallah. Sahabatku itu cepat-cepat menarik senjatanya, sedangkan aku terus
mengarah anak panahku kepada prajurit itu sehingga ia tewas. Selanjutnya Usamah
berkata lagi: ‘Ketika kami tiba kembali di Madinah berita ini sampai kepada
Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadaku: ‘hai Usamah! Kenapa
kau bunuh prajurit itu padahal dia telah mengucapkan Laaillaaha illallah?’
Jawabku: ‘Dia mengucapkannya karena hendak melindungi dirinya dari senjataku’.
Tanya Nabi lagi: ‘Kenapa kau bunuh.. (terus menerus mengulang pertanyaan itu,
sehingga aku merasa diriku seperti belum masuk islam”. (Shahih Muslim, syarah Nawawi, jilid II halaman 99)
Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW sempat
bertanya:
“apakah telah kau belah hatinya?”, sesungguhnya
dengan ucapan lisannya itu sudah cukup baginya untuk menunjukkan perbuatan
lahiriyahnya, adapun masalah hati itu bukan urusan kita, kita tidak tahu persis
apa yang berada di dalamnya (ucapan hati itu)
_____________
YANG
MENGUATKAN
YANG
MEMBATALKAN IMAN
KAJIAN
RINCI DUA KALIMAH SYAHADAH
Dr. Muhammad
Na’im Yasin
"Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah
orang-orang yang benar".
(QS: 49:15)
Ayat
ini menjelaskan kepada kita tentang ciri dari orang-orang yang beriman. Dalam
hati mereka tidak ada lagi keraguan untuk percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan keyakinannya itu dibuktikan dengan kesungguhan mereka dalam hal yang
berhubungan dengan harta dan jiwa mereka. Maka dikatakan dalam akhir ayat
tersebut, mereka adalah orang-orang yang benar.
Penjelasan
dari kutipan buku di atas, dan dari pelajaran-pelajaran yang diajarkan di lembaga
pendidikan sejak dini pun, diterangkan bahwasanya iman itu mencakup; meyakini dalam hati, diucapkan dengan
lisan, dan diamalkan dalam perbuatan. *apal.. sinau wis pirang tahun,,
nganti gak appall.. kebuangeten bgtt.
Kemudian aplikasi iman di hati itu sendiri menjadi hal yang puaaling utama. Dimana iman menjadi pokok sebuah keislaman. Dan sebab iman itulah setiap ujian, cobaan, dan rintangan akan terasa ringan. Beruntunglah Allah SWT telah memberikan hidayah, nikmat paling agung dari segala nikmat yang ada, yaitu keimanan.
“Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu” (Al-baqarah:143)
Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu: Aku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku
satu perkataan yang aku tidak akan bertanya lagi setelahnya kepada selainmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah aku beriman kepada
Allah kemudian istiqamahlah.” (HR.
Muslim)
Semoga
Allah menjaga Iman dalam hati kita,, dan tentu saja, itu tidak lepas dari peran
serta diri kita sendiri dong…
Keep spirit..!!
-----Perpus Pusat UII, 20 April 2012-----
Ba'da Ashar
0 komentar:
Posting Komentar