Sabtu, 22 November 2014

Suami Dengan Tipikal Nabi

Posted by Nis |


 


Bismillah..,

Sebuah kisah inspiratif,. Kelak ingin baca lagi, so., saya share di blog ini,.

---------------------------------------

Dalam ta’lim bulanan di mesjid pada suatu hari, Pak Ustadz membahas masalah kewajiban dan hak seorang istri dalam rumah tangga. Beliau menyinggung ketika bagaimana suatu saat Nabi yang mulia pulang ke rumah (Siti Khodijah) kemalaman, dan Beliau tidak mengetuk pintu istri tercintanya, dengan alasan takut mengganggu. 

Seketika saya langsung teringat, ketika suatu saat pasca melahirkan, saya baru tertidur hampir jam 11 malam. sementara suami belum pulang juga saat itu, sekitar jam 12 lewat bayi saya aha ehe minta mimi, saya lihat hp dengan tujuan hendak melihat jam, ternyata ada beberapa sms masuk yang isinya panjang lebar, ketika saya baca, diantaranya ;”….berarti nanti lagi, kita harus duplikat kunci, supaya kalau aa pulang malem, neng Geul ga usah bukain pintu,….sekarang sih ga apa aa tidur di luar, tapi barusan ada ronda lewat, takutnya kita disangka berantem……””

Membaca sms panjang, secara repleks, saya buka gordin untuk mengintip…dan masya Allah, suamiku tengah meringkuk di pinggir motor, dengan beralas jas hujan kalau tidak salah. 

Saya bersyukur kepada Allah SWT dengan syukur yang tiada terhingga, ketika suatu saat mendengar seorang teman yang menceritakan suaminya tidak mau makan jika ia (teman saya) tidak memanaskan lauk pauknya terlebih dahulu, padahal suami teman saya itu pulang ke rumah lebih dahulu dari pada teman saya yang bekerja tersebut.

Saya bersyukur yang tiada terhingga, karena suami tercinta selalu membantu urusan rumah tangga setiap harinya. Dalam aktifitas di pagi hari, sementara saya sibuk menyiapkan sarapan dan makan siang untuk anak anak sambil menggendong bayi, suami saya turut serta terjun di dapur, bukan hanya sekedar berteriak; Bun, teh manis!! 

Syukur yang tiada henti kepada Allah SWT yang telah memberikan suami yang akhlaq nya mendekati akhlaq nabi. Syukur tiada henti yang memberikan suami, yang didikannya hanya melalui sindiran halus saja, tidak melalui bentakan.Didikannya, hanya melalui kelemah lembutan, bukan kata kata kasar.

Pernah saya mendengar seorang umahat menceritakan suaminya yang berkomentar tentang dirinya, yang ”bagaimana penampilanku jika aku menggendong bayi dengan kain gendongan ya?”subhanallah, ternyata suami dendy seperti itu, ditengah kesibukan istrinya pun masih sempat berfikir seperti itu? 

Saya selalu berfikir, berfikir, bahwa di dunia ini, hanya ada dua tipikal suami, sebagaimana halnya ada dua tipikal istri. Hanya pendapat lho. Ini bukan hasil riset yang kebenarannya absolut.

Tipikal suami yang pertama adalah, tipikal nabi, yang banyak toleransinya, sehingga tidak banyak menuntut terhadap istrinya, yang menyanbung tali sendalnya sendiri, yang menambal bajunya sendiri, yang membantu istrinya di dapur, memotong motong daging untuk istrinya.
Tipikal suami yang kedua adalah tipikal Ali bin Abi Tholib, seorang yang berani, tegas, andalan nabi dalam pertempuran, faqih dalam diennya karena dididik nabi dari kecil. 

Tipikal suami yang pertama ini selalu berjodoh dengan tipikal istri Siti Aisyah, yang ceria, berani, luas ilmunya, memberi pengajaran kepada para shahabiyah, akan tetapi pencemburu.
Suami bertipikal Sayyidina Ali, sangat sepadan dengan istri yang mempunyai tipikal Siti Fatimah, yang lemah lembut, lagi agung, sangat sabar, karena selalu ditinggal Sayidina Ali berjihad, yang dengan sabar mengerjakan urusan rumah tangganya sendirian tanpa khodimat, yang suatu saat meminta kepada ayahandanya untuk diberikan khodimat, namun bukan khodimat yang didapat, tetapi nasihat berharga, yaitu nasihat untuk mengamalkan wirid yang dibacakan sebelum tidur. 

Maha adil Allah yang memasang masangkan hambanya dengan benar, tiada salah, walaupun menikah dengan tiada proses pengenalan, penjajagan seperti keumuman orang banyak.

Maka, kepada teman temanku yang sedang menjalani proses penjajagan, atau ta’aruf, janganlah engkau mengulur ulur waktu menikah, jika engkau sudah ada calonnya, tsiqoh billah, karena Allah tidak akan salah dalam perencanaanya. Allah SWT lebih mengetahui kita, dari pada diri kita sendiri. Allah SWT lebih mengetahui yang terbaik untuk kita, dari pada diri kita sendiri. 

Dia memberikan dan memasangkan kita dengan orang yang sekufu dengan kita. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nuur ayat 26; 

”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…..” 

Maha Suci Allah, yang kepada Nyalah hamba memohon ampun atas ketidak sempurnaan dalam pengabdian kepada suami, semoga Ia senantiasa mendidik hamba setiap saat. (Yuyu Latifah)


www.eramuslim.com


 -----Jakarta, 22 Nov 2014-----
siang, di meja kerja 

Jumat, 21 November 2014

Kisah Kejujuran Dua Bocah Penjual Tissue di Pinggir Jalan

Posted by Nis |




“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Baqarah Ayat: 177)

20/11/2014. Mendongakkan kepala, mencoba menahan tumpahan airmata, agaknya sia2 belaka. Meleleh juga akhirnya. Jam istirahat siang ini, gemuruh kembali terasa di hati. Membaca kisah yang makk nyoss,. Penuh hikmah, pengingat diri. Postingan di google+.


----------------------------------------

Kejujuran sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti sebuah kejujuran.

Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih Oom!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.

Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.

“Terima kasih ya mbak.. semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“Maaf, nggak ada kembaliannya.. ada uang pas nggak mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa-apa ambil saja!”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”

Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”

“Eeh,, nggak usah.. nggak usah.. biar aja.. nih!” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar dulu.. sebentar.”

“Nggak apa apa, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan.. jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah.. saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha membiarkan, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.

Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi saya delapan pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong “Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung disana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Om!” mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?” suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin..”

Percakapan itu sayup-sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya terenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta-minta dengan berdagang tissue.

Dua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil.

Semoga bermanfaat..














-----Jakarta, 21/11/2014-----
maksi, di meja kerja

Kamis, 13 November 2014

Ta'lim_Tentang Ilmu

Posted by Nis |



Bismillah.,
Alhamdulillah...


Hari ini, Ahad 9 Nov 2014, pagi sekitar jam 8:00. Keponakan saya (Avivah) yang melihat saya rapi dan bersiap2, “mau kemana Lek.?” tanya-nya. Saya, “mau ke Slipi..”. “Ikuttt..!!”, avivah menyahutt. Saya, “jangan nduk.,, jauh..”. Percakapan tersebut berujung pada tangisan Avivah yang ngotot pengen ikut saya. Saya langsung ngacirrrr, tak lupa kissbye kepada avivah yang lagi nangis kejerr2, dan salam sebelum keluar rumah.

Ceritanya begini; rasa kangen saya yang buesaarrrr dan meluap2 sampe’ luberr kemana2 #lebay.com, keinginan untuk berkumpul lagi dengan saudara2 muslim dalam majelis ilmu sungguh begitu kuattnya. Rindu berat yang sudah lama mengganggu, muter2 di hati dan pikiran beberapa lama dan saya merasa harus segera dicarikan obatnya, akhirnya saya searching di internet. ‘kajian salaf di Jakarta’. Meskipun saya belum tahu banyak tentang seluk beluk jalan dan daerah di Jakarta, cari dulu deh pokokknya. Informasi yang saya dapat ternyata tidak sebanyak yang saya bayangkan. Satu yang kayaknya perlu dicoba, adalah kajian salaf di masjid mujahidin, daerah Slipi. Ada foto pamfletnya.

“Slipi,. Kayaknya gak terlalu jauh deh.”, pikirku. Sekalian saja tak cari peta denah lokasinya. Dipelajari, dicatat. Pada kesempatan lain, saya tanyakan kepada kakak ipar saya, yang sudah banyak berpengalaman terhadap jalan di Jakarta. Hmm.. rutenya tidak memerlukan banyak belak-belok. Jalan raya tinggal luruuuusssss terus, jangan lewat di jalur busway. Itu sajalah kuncinya. Belum adanya SIM dan plat nomor yang masih plasu #belum keluar yg aslinya, padahal sudah hampir setahun., membuat kakak saya agak khawatir. Ssstt.,! mereka tidak tahu,,, bahwasanya dulu saya dijuluki sebagai pembalap di asrama putri, Asrama Al-Mahfudzh.., hehe..

Hmmm,,. Setelah bertanya sebanyak 2x, pertama kepada pak sopir taksi, kedua sama pak satpam, dan berpatokan dengan ‘seberang RS.Harapan Kita, Slipi’. Alhamdulillah.... sampai.!

Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah...

Sempat bingung masalah pintu masuk-nya, Alhamdulillah ketemu juga. Pintu yang bertutup kain.. begitu tak buka.... “subhanallah.!!!” Akhwatnya cadaran semua sodara-sodara....!! hitam-hitam,. Weiss.... saya juga hitam sih pake almamater takmir, jilbab biru, rok hitam, seperti gaya saya biasanya.. :D

Bukan saya namanya kalo’ gak cuek2 bebek. Mencari tempat duduk, saya merapatkan diri ke tembok dekat jendela. Tak lama, banyak yang datang. Tak sedikit yang menyapa saya hangat, menjabat tangan, dan berucap salam. Hmmm sejenak meresapi suasana ketika itu.., mak nyeesss..rasanya.

Berikut adalah oleh2, yang tertuang di catatan kecil saya.


-----------------------------------------------------------------------------
#Masjid Al-Mujahidin – Slipi
09/11/2014

Pemateri; Ust. Abu Usamah Abdurrahman
Tema; Ilmu adalah bekal menghadapi segala problema

Perlu saya sampaikan, saat ta’lim, ikhwan dan akhwat berada di ruangan terpisah. Ikhwan di lantai atas, sedangkan akhwatnya di lantai satu Masjid Ar-Rahmat. Para akhwat mendengarkan suara Ustadz lewat pengeras suara. Hmm kadang terjadi saingan antara suara Ustadz dengan tangisan anak2 kecil yang dibawa oleh ibunya yang sedang ta’lim juga. Anak2nya lucu2.,, masih kecil tapi sudah dipakaikan jilbab lebar, semacam dengan jilbab uminya yang cadaran. Hmmm terlihat tambah imuuuttt2.,, :D

Dibuka oleh MC, yang mana beliau mengingatkan kepada para jama’ah untuk tetap menjaga dan memperkokoh tali cinta kasih antar sesama, dengan menebarkan salam. Beliau menyampaikan hadits tentang salam.

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : Kalian tidak akan masuk Jannah sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan apa yang bisa membuat kalian saling mencintai? Para Shahabat berkata : “Tentu ya Rasulullah..” Sebarkanlah salam diantara kalian”. (HR. Muslim no.54)


#$# Di awal materi, Ustadz mejelaskan mengenai kewajiban kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat2 yang tak berbilang jumlahnya. Caranya;
Pertama; Mengetahui dan meyakini bahwasanya nikmat yang kita dapat, datangnya adalah dari Allah Ta’ala. Bukan dari mbah dukun, bukan dari pak Kiyai, bukan juga dari makhluk2 yang lainnya.

Kedua; menggunakan nikmat yang dititipkan kepada kita pada jalan yang diridhoi-Nya. Contohnya, nikmat harta; dibelanjakan dengan benar sesuai kebutuhan kita, tidak untuk membeli barang2 haram dan dilarang, diinfaq-kan sebagian darinya ke jalan Allah, dll
Nikmat sehat; kesehatan itu mahal harganya, bisa kita rasakan sendiri saat sakit, masuk rumah sakit, biayanya banyakk. Oleh karena itu, kesehatan harus dijaga, tidak boleh menyengajakan diri untuk sakit / menyakiti diri sendiri. Ketika sehat, digunakan untuk beribadah kepada Allah dengan maksimal. De es be.

Ketiga; berusaha untuk mengerjakan apa yang telah Allah wajibkan, sebagaimana tujuan manusia itu diciptakan. “tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.


#&# Kita diperintahkan untuk berilmu, tapi itu tidak akan berguna tanpa diiringi dengan amal. Jadi, setelah kita mendapatkan ilmu, harus dibarengi dengan amal perbuatan sebagai implementasi dari ilmu tersebut. Teori tanpa praktek hanya akan sia2 belaka. Misal; kita tahu ilmu ketika makan itu haruslah, duduk, baca bismillah,. Dll. Harusnya setelah tahu adab2nya, larangan2 yang berkaitan dengannya, ya dipraktekkan secara nyata-nya. Begitu lho.

#&# Beberapa tipe / motivasi orang ketika mendatangi majelis ilmu;
Mencicipi; mencoba2, apakah ustadznya penyampaiannya bagus, sesuai dengan yang diharapkannya.
Absen; datang hanya ingin dilihat temannya, ‘O, si Fulan rajin ta’lim..,’ bla..bla.. mendapatkan komentar orang lain.
Tajassus; mencari kesalahan pemateri, kemudian mendebat pemateri tersebut, sehingga dilihat orang2 bahwa dia berilmu.
Mencari dalil / bahan untuk disebarkan.
Hendaknya mencari ilmu itu diniatkan untuk meraih ridho dari Allah Ta’ala,. Luruskan niat.

#%# Kembali kepada Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Yang di dalamnya-lah terdapat solusi dari segala macam problema. Hal ini lah kuncinya, tidak ada yang diragukan lagi dari hal tersebut. Ilmu apa wae ada. Kita semua sepakat akan hal ini. Jadi, mengambil ilmu dari Al-Qur’an, itulah yang paling utama.

Hmm., karena ada suatu hal, ta’lim kali ini tidak ada sesi tanya jawab.


----------------------------------------------------------------------------

Pembahasan lain tentang menuntut ilmu, bisa dilihat di sini

Mungkin dari materi kajian, hanya sedikit sekali yang bisa saya bagikan karena adanya keterbatasan saya. So., afwan jiddan ya, sodara2.. ;D

-----------------------------------------------------------------------------


Moment;
Saya duduk anteng menempel dinding saat seorang ummahat tengah menggelar #semacam karpet. Beliau memperhatikan dan menghampiri saya. Menyapa dan berkenalan-lah ujungnya. Lalu beliau meninggalkan saya lagi untuk suatu urusan.

Moment lagi;
Ummahat tadi kembali menghampiri saya. Waktu itu, jama’ah telah lebih buanyak dari ketika saya datang. Beliau mengajak saya untuk ke depan, gabung dengan kumpulan2 akhwat2 yang lain. Saya, “gak apa2, saya disini saja...” kataku sambil tersenyum. Beliau, “ayok.. gak papa,, kog pemalu banget...”, beliau masih mengajak. Pada waktu bersamaan, seorang bercadar lainnya sembari membuka cadarnya, menghampiri kami, bersalaman, menyapa ummahat di sebelah saya. Kami jadi ngobrol seru. Ummahat tadi memperkenalkan akhwat yang barusan datang kepada saya. Namanya adalah Fajrin. “Tolong dong, kalian tukar nomor Hp, sekarang..” kata ummahat tadi. Kami tersenyumm, Fajrin, “kog jadi kayak dicomblangin sih..” Akhirnya saya sebutkan nomor Hp saya ke Fajrin. Ummahat tadi bermaksud memotivasi saya untuk gak usah berkecil hati atau malu dikarenakan saya tidak berpakaian seperti 99% akhwat yang hadir, yaitu bercadar. Diceritakan lah, bahwa dulu ada yang pertama datang pakaiannya masih blue jeans, bahkan beliau sendiri mengaku kalau dulu pertamanya, beliau ikut ta’lim dengan jilbabnya yang masih model cekEk #jilbab segi empat yang dililitkan di leher. Hhhmmm bertahap, kata beliau. Beliau akhirnya meninggalkan kami, pesan beliau kepada Fajrin, “tolong ditemenin ya,. Nanti kalau sendirian takut ada yang nyulik,. Eh.., kayaknya banyak yang mau nyulik,. Tolong dong biodatanya... #bercanda sama saya.” :D

Moment berikutnya;
Saya ngobrol2 dengan Fajrin, akhwat 20 tahun tersebut ternyata pengantin baru. “Barokallah....”, saya memberikan selamat. Lalu kami bertukar cerita tentang diri kami masing2. Lalu, tiba2 beliau bertanya, “mbak target nikahnya kpn,? Umur 25.?”. saya, “tahun depan, insyaAllah.,, doanya ya..”, jawabku manteb. Terus saya lanjutin kalimat saya, “tapi belum nemu jodohnya,.”, sambil nyengirr. Eh, mengejutkan, lha kog Fajirn dengan tegas + semangat berkata, “sama temen abiku, eh, temen suamiku aja.. mau gak.???”. gubraaakk. Saya tersenyum. “nanti tak sms ya.?”, lanjut Fajrin. Saya tersenyum..hehehe. Kami pun melanjutkan obrolan. Fajrin sempat bercerita tentang ikhwan yang katanya lagi nyari istri tersebut. :D

Moment selanjutnya;
Alhamdulillah sudah di rumah. Waktu itu sekitar wayah Ashar saat saya membuka sms dari Fajrin. “bismillah... ukh, dah sampe rumah?”. Saya bales, “Alhamdulillah udah..”. Fajrin sms lagi, “ukh, piye tawaran an? Mau ta’arufan ndk?”., waaaaa :D   :D   :D  :D   gulung2 di kamar.


Moment Geje;
Saat sebelum saya berangkat ke ta’lim, saya sempat ‘ngobrol’ dengan Allah. Kata saya, “Ya Allah, saya berniat untuk mencari ilmu, mencari ridho-Mu. Dan kalau diperkenankan saya mendapatkan bonus, kalau saya boleh request langsung, hmm pertemukan jodoh saya di sana ya Allah..,”
Ahhhahhhhaiiiii.... #jika ada yang berpendapat ini tidak bagus, tolong jangan ditiru ya, sodara-sodara.. :D
Luruskan niat. :D







-----Jakarta, 13 Nov 2014-----
pagi, di meja kerja




                                         

Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger