Rabu, 27 November 2013

Obsesi Tujuh Abad_jcpp

Posted by Nis |

Bismillah..,
Puja dan puji syukur kehadirat Allah Ta’ala...

Segelas susu panas, dan kue brownis... Alahmdulillah... Kombinasi yang cukup luar biasa di sore nan Fithri ini, menjadi teman yang mantapp untuk saya kembali berbagi dengan antum semuanya.
Masih dari buku ber-tajuk “Jalan Cinta Para Pejuang” karya Salim A. Fillah.

----------
Kekuatan Bening

Bukan kita yang memilih takdir
Takdirlah yang memilih kita
Bagaimanapun, takdir bagaikan angin
bagi seorang pemanah
Kita selalu harus mencoba
untuk membidik dan melesatkannya
di saat yang paling tepat

-Shalahuddin Al Ayyubi-


Obsesi tujuh abad itu begitu bergemuruh di dada seorang Sultan muda, baru 23 tahun usianya. Tak sebagaimana lazimnya, obsesi itu bukan mengeruhkan, melainkan semakin membeningkan hati dan jiwanya. Ia tahu, hanya seorang yang paling bertaqwa yang layak mendapatkannya. Ia tahu, hanya sebaik-baik pasukan yang layak mendampinginya.


Maka di sepertiga malam terakhir menjelang penyerbuan bersejarah itu ia berdiri di atas mimbar, dan meminta semua pasukannya berdiri. “Saudara-saudaraku di jalan Allah”, ujarnya, “Amanah yang dipikulkan ke pundak kita menuntut hanya yang terbaik yang layak mendapatkannya. Tujuh ratus tahun lamanya nubuat Rasulullah telah menggerakkan para mujahid tangguh, tetapi Allah belum mengizinkan mereka memenuhinya. Aku katakan pada kalian sekarang, yang pernah meninggalkan shalat fardhu sejak balighnya, silakan duduk!”
Begitu sunyi. Tak seorang pun bergerak.
“Yang pernah meninggalkan puasa Ramadhan, silakan duduk!”

Andai sebutir keringat jatuh ketika itu, pasti terdengar. Hening sekali, tak satu pun bergerak.

“Yang pernah mengkhatamkan Al-Qur’an melebihi sebulan, silakan duduk!”

Kali ini, beberapa gelintir orang perlahan menekuk kakinya. Berlutut berlinang air mata.

“Yang pernah kehilangan hafalan Al-Qur’annya, silakan duduk!”
Kali ini lebih banyak yang menangis  sedih, khawatir tak terikut menjadi ujung tombak pasukan. Mereka pun duduk.

“Yang pernah meninggalkan shalat malam sejak balighnya, silakan duduk!”
Tinggal sedikit yang masih berdiri, dengan wajah yang sangat tegang, dada berdegub kencang, dan tubuh menggeletar.

“Yang pernah meninggalkan puasa Ayyaamul Bidh, silakan duduk!”
Kali ini semua terduduk lemas. Hanya satu orang yang masih berdiri. Dia, sang sultan sendiri. Namanya Muhammad Al Fatih. Dan obsesi tujuh abad itu adalah Konstantinopel.

------------------------
Ah...meleleh.... hhmmm malunya...
Bagaimana akan ikut menjadi salah satu yang duduk di sana..
Al-qur'an...shalatku.... puasaku....
Hiks...
-----------------------
++++++Telat posting...
:D



----- Hotel Ibis, Yogyakarta -----
ashar 

Nurani Menyelamatkan Ummat

Posted by Nis |

Bismillah.,
Segala puji dan sanjungan hanya milik Allah Ta’ala.

Idul Fitri.. Hhmmmm tiada kata lebih indah hari ini selain “Alhamdulillah,. Kembali Kau pertemukan lagi hamba-Mu ini dengan hari Raya Idul Fitri di tahun ini, 1434 Hijriah,. Dan semoga Kau beri kesempatan lagi untuk-ku bertemu kembali dengan Idul Fitri tahun depan, dalam segala hal yang lebih baik dari saat ini... amiiin.”

Dan.... saatnya mengucapkan.. “taqobalallahu minna wa minkum.., syiyamana wa syiyamakum..” Semoga Allah menerima amal ibadah puasa kita semua..



--------------
Di hari ini, saya tidak akan membahas sesuatu hal yang terkait dengan Idul Fitri. Saya tertarik untuk membagi sebuah tulisan, dari sebuah buku, karya seorang penulis sekaligus ustadz favorit saya.. Ustadz Salim A. Fillah.. yang bertajuk “Jalan Cinta Para Pejuang”.

Kali ini, pada Bab-nya yang berjudul ‘Bertanya Pada Hati’, di point Nurani Menyelamatkan Ummat. Silahkan disimak...


----------------
Nurani Menyelamatkan Ummat

Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling bisa mengerti sahabat tercinta? Tentu indah. Kita menjadi yang pertama-tama menangkap kilasan cahaya gembiranya, lalu menjadikan hati kita lensa konkaf untuk menebarkannya. Atau kita juga segera menangkap tebaran masalah yang menggayuti benaknya, lalu menjadi lensa konveks untuk memberinya fokus dan orientasi. Dan di sebalik lensa itu, kita juga yang pertama-tama akan menangkap bayangan nyata dari kesemuan-kesemuan tentangnya. Seringkali, itu membuat kita menangis terlebih dahulu. Bahkan menangis sendirian. Abu Bakr Ash Shiddiq pernah merasakannya.

via: http://gunawanyudihandoko.blogspot.co.id/2013_11_01_archive.html


Ketika itu, Sang Nabi menerima wahyu. Wahyu yang sangat menggembirakan semua shahabat. Beliau membacakannya dari atas mimbar. “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. sesungguhnya Ia adalah Maha Penerima Taubat.”

Semua shahabat tersenyum, lega, bahagia, dan penuh syukur. Tapi dari depan mimbar, Abu Bakr tiba-tiba berteriak dengan gemuruh isak, “Ya Rasulallah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku!” Dan ia terus menangis. Para shahabat belum pernah heran akan Abu Bakr sedahsyat hari itu. Mereka menatap tajam ke arahnya dengan mulut yang tanpa disadari setengah terbuka. Tapi Rasulullah tersenyum padanya.

“Seorang hamba diminta untuk memilih”. Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabda, “Antara perhiasan dunia menurut kehendaknya, atau apa yang ada di sisi Allah. Dan dia memilih apa yang ada di sisi Allah.” Tangis Abu Bakr semakin keras, terdengar menggigil bagai burung dalam badai, menyesakkan. “Demi Allah Ya Rasulallah, ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu.!”, ia kembali berteriak. Hingga kata perawi hadits ini, orang-orang bergumam dalam hati, “Lihatlah orang tua ini! Rasulullah mengabarkan tentang kemenangan dan seorang hamba yang diberi pilihan, tapi dia berteriak-teriak tak karuan!”

Entah mengapa, hari itu kebeningan hanya menjadi milik Abu Bakr seorang. Ketika para shahabat bergembira mendengar sabda-sabda Sang Nabi, ia menangkap Surat An Nashr dan segala yang beliau katakan sebagai satu isyarat pasti. Ajal sang Nabi telah sangat dekat! Maka ia menangis. Maka ia berteriak. Hanya dia. Hanya dia yang mengerti.

Cinta Nabi.   via: https://aimiftah.wordpress.com

Rasulullah masih tersenyum. “Sesungguhnya orang yang paling banyak membela dan melindungiku dengan pergaulan dan hartanya adalah Abu Bakr”, kata beliau. “Andai aku boleh mengambil kekasih selain Rabbku, niscaya aku akan mengambil Abu Bakr sebagai Khaliil-ku. Tetapi ini adalah persaudaraan Islam dan kasih sayang. Semua pintu yang menuju ke Masjid harus ditutup, kecuali pintunya Abu Bakr.” 

Abu Bakr adalah orang dengan nurani yang begitu jernih, begitu suci. Dia yang paling berduka, menangis, dan histeris ketika Sang Nabi memberi isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun, di saat kekasih yang dicintainya itu benar-benar pergi, Abu Bakr menjadi orang yang paling waras, paling tenang, dan paling menenteramkan. Di jalan cinta para pejuang, Abu Bakr menyelamatkan kaum muslimin dari keterguncangan massal yang bisa berakibat fatal.

“Tiada hari yang lebih bercahaya di Madinah”, kata Anas ibn Malik, “Daripada hari ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada kami. Dan tidak ada hari yang lebih gelap dan muram daripada saat beliau wafat.” Hari itu isak dan sedu menyatu. Tangis dan ratap berbaur. Air mata bergabung dengan keringat dan cairan hidung. Dan seorang lelaki berteriak-teriak, membuat suasana makin kalut.

“Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah meninggal dunia!”, kata sosok tinggi besar itu. Banyak orang berhimpun di sekelilingnya hingga yang di belakang harus berjinjit untuk mengenali bahwa si gaduh itu adalah ‘Umar ibn Al Khatthab. “Sesungguhnya beliau tidak wafat!”, ia terus berteriak dengan mata merah berkaca-kaca dan berjalan hilir mudik ke sini ke sana. “Sesungguhnya beliau tidak mati! Beliau hanya pergi menemui Rabb-nya seperti Musa yang pergi dari kaumnya selama 40 hari, lalu kembali lagi pada mereka setelah dikira mati! Demi Allah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pasti akan kembali! Maka tangan dan kaki siapapun yang mengatakan beliau telah meninggal harus dipotong!”

Ilustrasi Umar muntab.    
via: http://oasemuslim.com/ketika-khalifah-umar-bin-khattab-menghadapi-ajalnya/

‘Umar masih terus berteriak-teriak bahkan menghunus pedang ketika Abu Bakr datang dan masuk ke bilik ‘Aisyah, tempat di mana jasad Sang Nabi terbaring. Disibaknya kain berwarna hitam yang menyelubungi tubuh suci itu, dipeluknya Sang Nabi dengan tangis. “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu...”, bisiknya. “Allah tidak akan menghimpun dua kematian bagimu. Kalau ini sudah ditetapkan, engkau memang telah meninggal.” Abu Bakr mencium kening Sang Nabi. “Alangkah wanginya engkau di kala hidup, alangkah wangi pula engkau di saat wafat.”

‘Umar masih mengayun-ayunkan pedang ketika dia keluar. “..kaki dan tangannya harus dipotong! Dipotong!”, teriak ‘Umar.

“Duduklah hai ‘Umar!”, seru Abu Bakr. Tapi ‘Umar yang bagai kesurupan tak juga duduk. Orang-orang, dengan kesadaran penuh mulai mendekati Abu Bakr dan meninggalkan ‘Umar. “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat”, katanya berwibawa, “Tapi barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup kekal!” Abu Bakr lalu membaca ayat yang dibaca Mush’ab ibn ‘Umair menjelang syahidnya, saat tubuhnya yang menghela panji Uhud dibelah-belah dan tersiah kabar bahwa Rasulullah terbunuh.

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang? Dan barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali ‘Imran [3]: 144)

‘Umar jatuh terduduk mendengar ayat ini. Pedangnya lepas berdentang dari genggaman. Dengan gumaman diselingi isak, disimak dan dilafalkannya ayat yang dibaca Abu Bakr. Demikian juga yang lain. Mereka semua membaca ayat itu. Seolah-olah ayat itu baru saja turun. Seolah-olah mereka tak pernah mendengar ayat ini sebelum Abu Bakr membacakannya. Entah mengapa, sekali lagi, kebeningan hanya menjadi milik Abu Bakr seorang pada hari itu.

Maka inilah Abu Bakr. Seorang yang mata batinnya begitu jernih. Dia yang paling berduka, menangis, dan histeris ketika Sang Nabi memberi isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun, di saat kekasih yang dicintainya itu benar-benar pergi, Abu Bakr menjadi orang yang paling waras, paling tenang, dan paling menenteramkan. Di jalan cinta para pejuang, Abu Bakr menyelamatkan kaum muslimin dari keterguncangan massal yang bisa berakibat fatal.


Love Rasulullah.    via: https://www.pzhgenggong.or.id/tag/sholawat



--------------------------------------------

===Late post
:D








-------Revisi Jakarta, 26 Januari 2017-------
menanti magrib

Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger