Bismillah...
Segala puji kepunyaan Allah SWT...
Hayuuuuukk kita belajar..!! Gak mulu tentang matematika, IPA, Bahasa, Cinta, atau ilmu-ilmu dunia lainnya. Yang ini, tentang pengetahuan agama kita.
Di bawah ini adalah re-writing dari sebuah buku. Bagi antum yang tidak bisa membuka lembar demi lembar-nya, salinan ini semoga bisa bermanfaat..
sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Syaikh Manna' Al-Qaththan
Yuukk....... mari.......
---------------------------------------
HADITS QUDSI
Segala puji kepunyaan Allah SWT...
Hayuuuuukk kita belajar..!! Gak mulu tentang matematika, IPA, Bahasa, Cinta, atau ilmu-ilmu dunia lainnya. Yang ini, tentang pengetahuan agama kita.
Di bawah ini adalah re-writing dari sebuah buku. Bagi antum yang tidak bisa membuka lembar demi lembar-nya, salinan ini semoga bisa bermanfaat..
sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Syaikh Manna' Al-Qaththan
Yuukk....... mari.......
---------------------------------------
HADITS QUDSI
Kata qudsi
dinisbahkan kepada kata quds
(kesucian). Nisbah ini menunjukkan rasa ta’zim
(hormat akan kebesaran dan kesuciannya), oleh karena kata itu sendiri
menunjukkan kebersihan dan kesucian secara bahasa. Maka kata taqdis berarti mensucikan Allah.
Hadits
qudtsi secata istilah ialah suatu hadits yang oleh Nabi saw, disandarkan kepada
Allah. Maksudnya, Nabi meriwayatkan dalam posisi bahwa yang disampaikannya
adalah kalam Allah, tetapi redaksi lafazhnya dari Nabi sendiri. Jika seseorang
meriwayatkan satu hadits qudsi, dia berarti meriwayatkannya dari Rasulullah
yang dinisbatkan kepada Allah. Apabila ada orang yang meriwayatkan hadits ini
dari Rasulullah, berarti dia menyandarkannya kepada Allah. Maka, hendaknya
orang itu berkata, “Rasulullah saw bersabda sebagaimana yang dia riwayatkan
dari Tuhannya Azza wa Jalla.
Contoh
pertama; Dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah saw, mengenai apa yang
diriwayatkannya dari Tuhannya ‘Azza wa
Jalla: “Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafkah, baik di waktu
malam ataupun siang hari...”
Contoh
kedua; Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku
sesuai apa yang menjadi dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia
menyebut-Ku. Bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di
dalam diri-Ku. Dan bila dia menyebutk-Ku di khalayak ramai, maka Aku pun
menyebutnya di khalayak orang ramai yang lebih baik dari itu...”
Perbedaan Hadits qudtsi dg Al-Qur’an
- Al-Qur’an
Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan
lafazhnya, yang dengannya orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu
membuat yang seperti Al-Qur’an itu, atau sepuluh surat yang serupa itu,
atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena
Al-Qur’an merupakan mukjizat abadi hingga Hari Kiamat. Sedang hadits Qudsi
tidak untuk menantang dan tidak pula berfungsi sebagai mukjizat.
- Al-Qur’an
Al-Karim hanya dinisbahkan kepada Allah semata. Istilah yang dipakai
biasanya, “Allah Ta’ala telah
berfirman”. Adapun hadits qudtsi –seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya- terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah.
Penyandaran hadits qudtsi kepada Allah itu bersifat penisbatan insya’i (yang diadakan). Maka di
sini dikatakan; Rasulullah mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari
Tuhannya.
- Seluruh
isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir. Sehingga kepastiannya sudah mutlak
(qath’i ats-tsubut). Sedangkan
hadits-hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya merupakan dugaan (zhanni ats-tsubut). Adakalanya
hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan ada pula yang dha’if
(lemah).
- Al-Qur’an
Al-Karim dari Allah, baik lafazh maupun maknanya. Itulah wahyu. Adapun
hadits qudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafazh (redaksi)nya
dari Rasulullah saw. Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafazh.
Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadits, tidak mengapa
meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja.
- Membaca
Al-Qur’an merupakan ibadah, dan dianjurkan, karena itu dibaca dalam shalat.
“Barangsiapa
membaca satu hurug dari Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan
itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu
huruf dan mim satu huruf.
Sedang
hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala
membaca hadits qudsi secara umum saja. Jadi membaca hadits qudsi tidak
memperoleh pahala seperti membaca Al-Qur’an bahwa setiap huruf mendapatkan
sepuluh kebaikan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
WAHYU
Dibalik
tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya. Tubuh itu akan kehabisan
tenaga, jaringan-jaringan selnya akan mengalami kerusakan jika tidak
mendapatkan makanan menurut kadarnya, demikian pula roh. Ia memerlukan makanan
yang dapat memberikan tenaga rohani agar ia dapat memelihara sendi-sendi dan
nilai-nilainya.
Arti Wahyu
Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjukkan pada dua
pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan,
“Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang ditujukan kepada orang
tertentu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian dasarnya (mashdar).
Tetapi terkadang juga bermaksud al-muha,
yaitu pengertian isim maf’ul,
maknanya yang diwahyukan. Secara etimologi (kebahasaan), pengertian wahyu
meliputi;
- ilham al-fithri li al-insan (ilham
yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa, “Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada
ibu Musa; ‘Susuilah dia...’” (Al-Qashash: 7)
- Ilham
yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah,
“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah; Buatlah sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia.” (An-Nahl:
68)
- Isyarat yang cepat melalui isyarat,
seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al-Qur’an,
“Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada
mereka; ‘Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Maryam: 11)
- Bisikan
setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia.
“Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya
agar mereka membantah kamu.” (Al-An’am: 121)
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi tiap-tiap nabi, yaitu
setan-setan dari golongan manusia dan jenis jin, agar sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)
- Apa
yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah
untuk dikerjakan.
“Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat;
Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang
beriman.”
(Al-Anfal: 12)
Sedangkan
wahyu Allah kepada para nabi-nya, secara syariat mereka definisikan sebagai
“Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi”.
Cara Wahyu Allah Turun kepada Malaikat
- Dalam
Al-Qur’an Al—Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada malaikat-Nya,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman; ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seseorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau
hendak menjadikan khalifah di bumi orang yang akan membuat kerusakan di
dalamnya...?’” (Al-Baqarah: 30)
Ayat di atas
dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa
perantaraan dan dengan perbicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal
itu diperkuat oleh hadits dari Nuwas bin Sam’an r.a, yang mengatakan bahwa
Rasulullah saw bersabda;
“Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai sesuatu urusan.
Dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun bergetar dengan getaran –atau dia
menyatakan dengan goncangan- yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Ketika penghuni langit mendengarnya, mereka pingsan dan jatuh. Lalu
bersujudlah kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat kepalanya di antara mereka
itu adalah Jibril, lalu Allah menyampaikan wahyu-Nya kepa Jibril menurut apa
yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap
kali dia melalui satu langit, para malaiktanya bertanya kepada Jibril: “Apakah
yang telah difirmankan oleh Tuhan kita, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia
mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar”. Para malaikat
itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril
menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla”. (HR.
Ath-Thabarani)
Hadits ini
menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, yang didengar oleh
para malaikat. Pengaruh wahyu itu sangat dahsyat. Pada zhahirnya –di dalam
perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu-, hadits di atas menunjukkan
turunnya wahyu khusus mengenai Al-Qur’an, akan tetapi hadits tersebut juga
menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan itu terdapat di
dalam hadits shahih, “Apabila Allah
memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat mengepak-ngepakkan
sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai di atas batu yang
licin”.
- Jelas
bahwa Al-Qur’an telah dituliskan di lauhul
mahfuzh, berdasarkan firman Allah, “Bahkan
ia adalah Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhul mahfuzh”.
(Al-Buruj: 21-22)
Dalam satu
riwayat disebutkan, “Telah dipisahkan Al-Qur’an dari Adz-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul
‘Izzah di langit dunia kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi s.a.w
Oleh sebab
itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa
Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
a.
Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya
yang khusus.
b.
Jibril menghafalnya dari lauhul
mahfuzh.
c.
Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafazhnya dari Jibril,
atau Muhammad saw.
Pendapat
pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits Nuwas bin Sam’an di atas. Al-Qur’an adalah
kalam Allah dengan lafazhnya, bukan kalam Jibril atau Muhammad.
Adapun
pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al-Qur’an
di lauhul mahfuzh itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Al-Qur’an.
Sedangkan,
pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab, sunnah itu juga wahyu
dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad saw secara makna. Lalu
beliau mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhammad) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa
yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”.
(An-Najm: 3-4)
Karenanya,
diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedangkan Al-Qur’an tidak.
Di antara
keistimewaan Al-Qur’an:
1.
Al-Qur’an adalah mukjizat
2.
Kebenarannya mutlak
3.
Membacanya dianggap ibadah
4.
Wajib disampaikan dengan lafazhnya. Sedang hadits qudsi tidak
demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafazhnya juga diturunkan.
Cara Penurunan Wahyu Kepada Para Rasul
Yang pertama; melalui Jibril, malaikat pembawa wahyu.
Yang kedua; Tanpa melalui perantaraan. Di antaranya ialah, mimpi yang benar
dalam tidur.
- Mimpi yang benar dalam tidur. Aisyah
ra berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah saw
adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi
kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari”. (Muttafaq ‘Alaih)
Kondisi
seperti ini pada dasarnya sebagai persiapan bagi Rasulullah untuk menerima
wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Di dalam Al-Qur’an, banyak wahyu yang
diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang
berpendapat bahwa Surat Al-Kautsar melalui mimpi, seperti disinyalir oleh satu
hadits. Di dalam Shahih Muslim dari Anas dia berkata, “Ketika Rasulullah saw
berada di antara kami di dalam masjid, tiba-tiba beliau mendengkur, lalu
mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya; Apakah
yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tadi telah turun kepadaku sebuah surat.
Lalu ia membaca; Bismillahirrahmannirrahim, Inna a’thainakal kautsar; fa
shallilirabbika wanhar; inna syani’aka huwal abtar”.
Di antara
alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi adalah wahyu yang
wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.
Mimpi yang
benar itu tidak hanya khusus bagi para rasul saja. Mimpi yang semacam itu juga
bisa terjadi pada kaum Mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu. Rasulullah
saw bersabda; “Wahyu telah terputus,
tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin”.
(Muttafaq ‘Alaih)
- Kalam
Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada
Musa as, “Dan tatkala Musa datang
untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan
telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan,
tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu’”. (Al-A’raf:
143)
Demikian
pula menurut pendapat yang paling shahih, Allah juga pernah berbicara secara
langsung kepada Rasul kita Muhammad pada malam Isra dan Mi’raj.
Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat kepada Rasul
Pertama; Datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang
amat kuat yang dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala
kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara adalah yang paling berat bagi
Rasul. Apabila wahyu turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau
mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan
memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti
diisyaratkan di dalam hadits; “Apabila
Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat mengepak-ngepakkan
sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai di atas batu yang
licin” (HR. Al-Bukhari) dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri pada
waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kali.
Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara
seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian
antara pembicara dengan pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan
pembawa wahyu itu dengan senang, dan merasa tenang seperti seseorang yang
sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keduanya itu
tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa
Al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Nabi
menjawab, “Kadang-kadang ia datang
kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu
ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan terkadang
malaikat menjellma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara
kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dikatakan”.
-------------------------------------
-------------------------------------
------Perpus Pusat UII, 27 Nov'12------
ashar waktu UII
0 komentar:
Posting Komentar