Selasa, 27 November 2012

Study Qur'an1_Qudsi * Wahyu

Posted by Nis |


Bismillah...
Segala puji kepunyaan Allah SWT...

Hayuuuuukk kita belajar..!! Gak mulu tentang matematika, IPA, Bahasa, Cinta, atau ilmu-ilmu dunia lainnya. Yang ini, tentang pengetahuan agama kita. 

Di bawah ini adalah re-writing dari sebuah buku. Bagi antum yang tidak bisa membuka lembar demi lembar-nya, salinan ini semoga bisa bermanfaat..

sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Syaikh Manna' Al-Qaththan

Yuukk....... mari.......


---------------------------------------
HADITS QUDSI

Kata qudsi dinisbahkan kepada kata quds (kesucian). Nisbah ini menunjukkan rasa ta’zim (hormat akan kebesaran dan kesuciannya), oleh karena kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian secara bahasa. Maka kata taqdis berarti mensucikan Allah.

Hadits qudtsi secata istilah ialah suatu hadits yang oleh Nabi saw, disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Nabi meriwayatkan dalam posisi bahwa yang disampaikannya adalah kalam Allah, tetapi redaksi lafazhnya dari Nabi sendiri. Jika seseorang meriwayatkan satu hadits qudsi, dia berarti meriwayatkannya dari Rasulullah yang dinisbatkan kepada Allah. Apabila ada orang yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah, berarti dia menyandarkannya kepada Allah. Maka, hendaknya orang itu berkata, “Rasulullah saw bersabda sebagaimana yang dia riwayatkan dari Tuhannya Azza wa Jalla.

Contoh pertama; Dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah saw, mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya ‘Azza wa Jalla: “Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafkah, baik di waktu malam ataupun siang hari...”

Contoh kedua; Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Aku sesuai apa yang menjadi dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku. Bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila dia menyebutk-Ku di khalayak ramai, maka Aku pun menyebutnya di khalayak orang ramai yang lebih baik dari itu...”


Perbedaan Hadits qudtsi dg Al-Qur’an

  1. Al-Qur’an Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafazhnya, yang dengannya orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat yang seperti Al-Qur’an itu, atau sepuluh surat yang serupa itu, atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Al-Qur’an merupakan mukjizat abadi hingga Hari Kiamat. Sedang hadits Qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula berfungsi sebagai mukjizat.
  2. Al-Qur’an Al-Karim hanya dinisbahkan kepada Allah semata. Istilah yang dipakai biasanya, “Allah Ta’ala telah berfirman”. Adapun hadits qudtsi –seperti yang telah dijelaskan sebelumnya- terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Penyandaran hadits qudtsi kepada Allah itu bersifat penisbatan insya’i (yang diadakan). Maka di sini dikatakan; Rasulullah mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.
  3. Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir. Sehingga kepastiannya sudah mutlak (qath’i ats-tsubut). Sedangkan hadits-hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya merupakan dugaan (zhanni ats-tsubut). Adakalanya hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan ada pula yang dha’if (lemah).
  4. Al-Qur’an Al-Karim dari Allah, baik lafazh maupun maknanya. Itulah wahyu. Adapun hadits qudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafazh (redaksi)nya dari Rasulullah saw. Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafazh. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadits, tidak mengapa meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja.
  5. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah, dan dianjurkan, karena itu dibaca dalam shalat.

“Barangsiapa membaca satu hurug dari Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.

Sedang hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja. Jadi membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti membaca Al-Qur’an bahwa setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.



WAHYU

Dibalik tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya. Tubuh itu akan kehabisan tenaga, jaringan-jaringan selnya akan mengalami kerusakan jika tidak mendapatkan makanan menurut kadarnya, demikian pula roh. Ia memerlukan makanan yang dapat memberikan tenaga rohani agar ia dapat memelihara sendi-sendi dan nilai-nilainya.

Arti Wahyu

Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjukkan pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian dasarnya (mashdar). Tetapi terkadang juga bermaksud al-muha, yaitu pengertian isim maf’ul, maknanya yang diwahyukan. Secara etimologi (kebahasaan), pengertian wahyu meliputi;

  1. ilham al-fithri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa, “Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia...’” (Al-Qashash: 7)
  2. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah,

“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah; Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia.” (An-Nahl: 68)

  1.  Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al-Qur’an,

“Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka; ‘Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Maryam: 11)

  1. Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia.

“Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (Al-An’am: 121)

“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi tiap-tiap nabi, yaitu setan-setan dari golongan manusia dan jenis jin, agar sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)

  1. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.

“Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 12)

Sedangkan wahyu Allah kepada para nabi-nya, secara syariat mereka definisikan sebagai “Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi”.

Cara Wahyu Allah Turun kepada Malaikat

  1. Dalam Al-Qur’an Al—Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada malaikat-Nya,

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman; ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya...?’” (Al-Baqarah: 30)

Ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan perbicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadits dari Nuwas bin Sam’an r.a, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda;

“Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai sesuatu urusan. Dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun bergetar dengan getaran –atau dia menyatakan dengan goncangan- yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika penghuni langit mendengarnya, mereka pingsan dan jatuh. Lalu bersujudlah kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat kepalanya di antara mereka itu adalah Jibril, lalu Allah menyampaikan wahyu-Nya kepa Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, para malaiktanya bertanya kepada Jibril: “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan kita, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Dia mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar”. Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla”. (HR. Ath-Thabarani)

Hadits ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, yang didengar oleh para malaikat. Pengaruh wahyu itu sangat dahsyat. Pada zhahirnya –di dalam perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu-, hadits di atas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai Al-Qur’an, akan tetapi hadits tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan itu terdapat di dalam hadits shahih, “Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat mengepak-ngepakkan sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai di atas batu yang licin”.

  1. Jelas bahwa Al-Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman Allah, “Bahkan ia adalah Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhul mahfuzh”. (Al-Buruj: 21-22)

Dalam satu riwayat disebutkan, “Telah dipisahkan Al-Qur’an dari Adz-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi s.a.w

Oleh sebab itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:

a.       Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya yang khusus.

b.      Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuzh.

c.       Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafazhnya dari Jibril, atau Muhammad saw.

Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits Nuwas bin Sam’an di atas. Al-Qur’an adalah kalam Allah dengan lafazhnya, bukan kalam Jibril atau Muhammad.

Adapun pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al-Qur’an di lauhul mahfuzh itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Al-Qur’an.

Sedangkan, pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunnah. Sebab, sunnah itu juga wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad saw secara makna. Lalu beliau mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhammad) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (An-Najm: 3-4)

Karenanya, diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedangkan Al-Qur’an tidak.

Di antara keistimewaan Al-Qur’an:

1.      Al-Qur’an adalah mukjizat

2.      Kebenarannya mutlak

3.      Membacanya dianggap ibadah

4.      Wajib disampaikan dengan lafazhnya. Sedang hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafazhnya juga diturunkan.

Cara Penurunan Wahyu Kepada Para Rasul

Yang pertama; melalui Jibril, malaikat pembawa wahyu.

Yang kedua; Tanpa melalui perantaraan. Di antaranya ialah, mimpi yang benar dalam tidur.

  1. Mimpi yang benar dalam tidur. Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari”. (Muttafaq ‘Alaih)

Kondisi seperti ini pada dasarnya sebagai persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Di dalam Al-Qur’an, banyak wahyu yang diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang berpendapat bahwa Surat Al-Kautsar melalui mimpi, seperti disinyalir oleh satu hadits. Di dalam Shahih Muslim dari Anas dia berkata, “Ketika Rasulullah saw berada di antara kami di dalam masjid, tiba-tiba beliau mendengkur, lalu mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya; Apakah yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tadi telah turun kepadaku sebuah surat. Lalu ia membaca; Bismillahirrahmannirrahim, Inna a’thainakal kautsar; fa shallilirabbika wanhar; inna syani’aka huwal abtar”.

Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.

Mimpi yang benar itu tidak hanya khusus bagi para rasul saja. Mimpi yang semacam itu juga bisa terjadi pada kaum Mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu. Rasulullah saw bersabda; “Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin”. (Muttafaq ‘Alaih)

  1. Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa as, “Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan, tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu’”. (Al-A’raf: 143)

Demikian pula menurut pendapat yang paling shahih, Allah juga pernah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad pada malam Isra dan Mi’raj.

Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat kepada Rasul

Pertama; Datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits; “Apabila Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat mengepak-ngepakkan sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai di atas batu yang licin” (HR. Al-Bukhari) dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kali.

Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan pembawa wahyu itu dengan senang, dan merasa tenang seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.

Keduanya itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa Al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Nabi menjawab, “Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjellma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dikatakan”.

 -------------------------------------






------Perpus Pusat UII, 27 Nov'12------
ashar waktu UII 







0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger