ABDULLAH IBN HANDHALAH
Ia Mati dalam Keadaan
Puasa Sedang Bendera Islam Masih dalam Genggamannya
Orang-orang menyebutnya sebagai anak
yang dibasuh oleh malaikat. Sebab ayahnya mati syahid dalam perang uhud. Kemudian
Rasulullah Saw., mendengar seorang perempuan menangisi suaminya. Beliau Saw.,
berkata kepadanya, “Rendahkanlah suaramu,
sebab para malaikat sedang membasuh Handhalah”. Abdullah tumbuh sebagai
anak yatim. Hati dan perasaannya sarat dengan sinar Islam. Ia menganggap bahwa
dunia ini sebagai tempat perjalanan menuju ke akhirat. Oleh karenanya harus
berbekal dengan takwa, hingga dapat menghadap kepada Allah dengan
lembaran/catatan amal yang suci. Amal perbuatannya sarat dengan harumnya cinta
kepada Allah. Sejak masa remajanya ia tenggalam dalam ibadah, menunaikan
kewajibannya dengan tepat waktu, puasa sepanjang masa dan di malam hari
menjalankan salat sunah sebagaimana dianjurkan oleh Allah. Siang hari ia
menggembalakan ternaknya, lalu tinggal di masjid hingga matahari tenggelam. Ia merasa
cukup dengan makan gandum, tidak pernah makan dengan makanan yang mengenyangkan
perutnya sama sekali.
Dia mencontoh kehidupan Rasulullah
Saw., mengikuti apa yang telah ditentukan dan didatangkan dari akidah dan iman.
Dia tidak pernah mengangkat kepalanya menghadap ke langit sebagai tanda
takutnya kepada Allah dan malu kepada-Nya. Di Madinah ia dikenal sebagai orang
yang sering beribadah dan tobat. Tiap saat dari kehidupannya selalu dipenuhi
dengan ibadah secara ikhlas kepada Allah Azza wa Jalla.
Ibunya, Jamilah binti Abdullah Ibn
Ubay Ibn Salul berbeda dengan ayahnya yang merupakan tokoh munafik. Ia adalah
seorang perempuan suci, dan selalu bertobat. Abdullah Ibn Handhalah dididiknya
sejak kecil dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya ia tumbuh dengan
perkembangan yang suci lagi bersih. Waktu berumur 7 tahun ia menyaksikan hari
duka yang menyedihkan di Madinah. Rasulullah Saw., wafat. Kemudian Abu Bakar
terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin.
Abdullah Ibn Handhalah memperhatikan
gambaran yang terjadi dalam peristiwa pemilihan khalifah. Ia tahu bahwa Islam
tidak membolehkan memutuskan suatu ketetapan kecuali dengan jalan pemilu. Oleh karena
itu, Abdullah Ibn Handhalah yang saat itu masih remaja, ketika mendengar bahwa
Muawiyah ibn Abi Sufyan membai’at secara paksa demi anaknya Yazid, ia
memutuskan tidak membai’atnya, walaupun dengan sikapnya itu ia membayar mahal
dengan kehidupannya. Seluruh penduduk Madinah juga sepakat dengan pandangan
ini.
Penduduk Madinah menolak membai’at
Yazid. Sampai Mu’awiyyah meninggal barulah mereka mulai menampakkan apa yang
tersirat dalam jiwanya. Mereka mengambil bentuk penolakannya dengan
terang-terangan, dan setelah tragedi Karbala, berubahlah menjadi periode
pertentangan dengan senjata.
Merupakan dosa tersendiri bagi siapa
yang mengakui Yazid sebagai khalifah. Ia memerintahkan pembunuhan terhadap Imam
Husein, membunuh keluarga Nabi (Ahl Al-Bait), memecah barisan kaum muslimin dan
terlebih lagi, ia membawa cara non syar’i dengan mengatasnamakan Islam.
Pandangan penduduk Madinah beralih
kepada Abdullah Ibn Handhalah. Ialah lelaki yang dikenal tidak memiliki
kekurangan sama sekali, bahkan dalam dirinya telah mengejawantah sifat-sifat
seorang mukmin sejati yang tidak pernah melenceng dari Al-Qur’an dan sunah. Pandangannya
tidak tergiur oleh perhiasan dan kenikmatan kehidupan duniawi.
Penduduk Madinah mengusir Bani
Umayyah dari sana, lalu mereka bersepakat di masjid untuk membai’at Abdullah
Ibn Handhalah. Ini merupakan aksi perjuangan di jalan Allah dan Rasul-Nya. Akan
tetapi Yazid terlanjur memobilisir tentara dari penduduk Syam dengan komando
Marwan Ibn Al-Hakam. Yazid memerintahkan tentaranya untuk membunuh penduduk
Madinah.
Hanya dalam beberapa hari saja
tentara Yazid sampai di Madinah, dan ketika kabar ini sampai kepada Abdullah
Ibn Handhalah, ia naik ke atas mimbar lalu memuji kepada Allah dan Rasul-Nya
seraya berkata;
‘Hai sekalian manusia, sesungguhnya
engkau keluar dalam keadaan marah demi agamamu. Korbankanlah dirimu karena
Allah, pasti Ia akan memberikan ampunan dan melimpahkan keridhaan-Nya kepadamu’.
Kemudian ia mengangkat tangannya ke
langit seraya menghadap kiblat. Ia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya kepada-Mulah
kami percaya, kepada-Mu kami beriman, kepada-Mu kami bertawakal, ke arah
jalan-Mu kami keluar, dan kepada-Mu kami berlindung.”
Setelah ia turun dari mimbar,
orang-orang menganjurkan berjihad dan mati syahid. Terjadilah pertempuran oleh
penduduk Madinah. Mereka tahu bahwa mereka dalam posisi kebenaran. Sayangnya jumlah
mereka sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Syam. Banyak pada
syuhada yang bertempur dengan berani. Abdullah Ibn Handhalah memimpinnya dengan
hati bergelora untuk mencapai mati syahid, sementara bendera masih ada dalam
genggamannya.
Saat tiba waktu Duhur, sebagaimana
biasa ia sedang berpuasa, ia berkata kepada salah seorang sahabat lelakinya, “Berjagalah
di belakangku, hingga aku selesai salat”. Seusai shalat, lelaki tadi bertanya, “Hai
Aba Abd Al-Rahman, tentaramu hanya tinggal 5 orang. Untuk apa kita tinggal di
sini?”. Jawab Abdullah Ibn Handhalah, “Celakalah kamu! Sebenarnya kita keluar
ini untuk mati syahid. Berjuang di medan laga, berperang lalu mati syahid.”
Setelah beberapa hari kematiannya,
lelaki tadi melihatnya dalam mimpi bahwa Abdullah Ibn Handhalah ada dalam
bentuk amat indah sambil memegang bendera, lalu orang tadi bertanya kepadanya, “Hai
Aba Abd Al-Rahman... bukankah engkau telah terbunuh?” Jawabnya, “Benar, dan aku
telah bertemu dengan Tuhanku, lalu aku dimasukannya ke dalam surga, di sana aku
memperoleh segala sesuatu yang aku kehendaki.” Lalu ditanya, “Kemudian para
sahabatmu... apa yang diperbuat oleh Allah kepada mereka?” Jawabnya, “Mereka
bersamaku di sekitar benderaku di surga...”
Berteriaklah lelaki tadi dalam
mimpinya berkali-kali, “Abdullah Ibn Handhalah benar!” Allah telah
menempatkannya di surga yang lebarnya seluas langit dan bumi.
dari;
POLA HIDUP ORANG-ORANG SHALEH
Syech Abdul Mun'im Qindil
--------
---Perpus Pusat UII, 23 June 2012---
ba'da dhuhur
0 komentar:
Posting Komentar