Bismillah.,
Semoga Rahmat Allah SWT
senantiasa tercurah kepada kita semua., amiin.
Berangkat dari sebuah
niat, setiap perbuatan kita dinilai oleh Allah SWT. Dimanakah sebenarnya niat
itu bermula.? Yak, tepat di dasar hati.!
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى
Sesungguhnya semua
amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia
niatkan.
[HR. Bukhori, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar
bin Al-Khaththab]
Sedikit cerita yang saya
ingat terkait hadits di atas, yaitu ketika Rasulullah SAW, memerintahkan
pengikutnya untuk berhijrah. Ada di kalangan sahabat yang niat mereka berhijrah
ternodai oleh hal-hal duniawi seperti kekayaan, harta, dan wanita. Jika yang diinginkan dari berhijrah itu hanya untuk hal-hal semacam itu, ya itu saja yang didapat, tanpa sedikitpun pahala bisa dikantongi. Maka hadits
tersebut muncul untuk mengingatkan kepada umat muslim agar meluruskan niat
semata-mata hanya karena Allah SWT.
Contoh
kasus; dua orang bershodaqoh di jalan Allah SWT, yang satu
berinfaq sebesar 10 juta, satunya lagi hanya 1 juta. Dari kedua orang tersebut,
belum tentu infaq mereka berdua diterima oleh Allah SWT. Allah tidak melihat
besarnya materi yang dikeluarkan, akan tetapi menilai apa yang dimaksudkan di
dalam hati masing-masing. Bisa jadi yang diterima adalah yang berinfaq 1 juta
karena niat lurusnya untuk berinfaq di jalan Allah, sementara yang berinfaq 10
juta tidak mendapatkan apa-apa karena memberikannya dengan maksud agar dipuji banyak orang, agar dilihat sebagai
orang yang dermawan, atau agar sukses mengambil simpati sang idaman. Bisa juga
sebaliknya, kembali lagi kepada maksud hati perbuatan masing-masing.
Salah-salah dalam berniat,
bisa jadi seperti apa yang disabdakan Rasulullah SAW berikut ini, (na’udzubillah); Rasulullah
Shollallahu’alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili
pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan
dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia),
lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya: ‘Amal apakah yang engkau
lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang semata-mata
karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau
berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang
telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam
neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta membaca al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan
kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya:
‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia
menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Quran
hanyalah karena engkau.’ Allah berkata: ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu
agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Quran supaya
dikatakan seorang qari’ (pembaca al-Quran yang baik). Memang begitulah yang
dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret
atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili)
adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda.
Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia
pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya: ‘Apa yang engkau telah lakukan
dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak pernah meninggalkan
shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku
melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau
berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan
memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan
(malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”
(HR. Muslim)
Amal ibadah orang yang
lalai hanyalah rutinitas, namun rutinitas orang yang waspada semuanya bernilai
ibadah (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhamad Ibnu Utsaimin
rahimahullah, hlm. 9).
Tak bisa dipungkiri, nilai segala sesuatu yang kita kerjakan bergantung kepada niat. Dalam sebuah kajian (di Masjid Ulil Albab UII *tercinta), yang mana Ustadz Alfi Syahr selaku pembicara, beliau menerangkan bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan di dunia ini bisa bernilai ibadah kepada Allah SWT apabila diniatkan memang hanya karena dan untuk Allah SWT. Contohnya, ketika hendak pergi kuliah, dalam hati berkata ‘ya Allah., q niatkan kuliah hari ini karena-Mu, ridhoilah ya Allah..’. Kemudian ketika tidur, sebelum memejamkan mata sempatkan di dalam hati memuji Allah SWT dan.. ‘ya Allah., istirahatku malam ini adalah karena-Mu agar jasad ini kuat dalam menjalankan ketaatan kepada-Mu esok hari..’ cukup dengan seperti itu, insyaallah akan bernilai ibadah di mata Allah SWT. Untuk redaksi dan rangkaian kata-kata bisa bervariasi, bagaimana-lah baiknya cara bahasa kita kepada Allah SWT.
MENGENAL DUA
MACAM AMALAN
Untuk
dapat menjadikan setiap aktifitas kita bernilai ibadah, maka terlebih dahulu
harus mengenali berbagai aktifitas dan niat pada setiap amalan. Para Ulama
menjelaskan bahwa secara global amalan terbagi menjadi dua :
1.
Amalan Yang Tidak
Sah Bila Tanpa Niat.
Contoh; amalan jenis ini ialah berbagai
amal ibadah murni, seperti shalat, puasa, haji, wudhu dan lain sebagainya.
Andai kita melakukan amal ini tanpa disertai dengan niat, niscaya amalan kita
tertolak dan tidak mendapatkan pahala. Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
Tiada puasa bagi orang yang tidak
membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum terbit fajar. (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya).
Itulah kenapa niat menjadi rukun shalat.
Puasa di bulan Ramadhan pun begitu, harus ada niat sebelum melaksanakan. Berbeda
dengan puasa sunnah (misal_Senin-Kamis),
niatnya tidak harus sebelum Fajar menyingsing, bahkan jika pun di tengah hari baru
berniat, insyaallah tetap diterima. Dengan catatan; memang belum makan dan minum sama sekali semenjak fajar, dan
diperbolehkan suami (bagi seorang istri).
Seperti yang pernah dilakukan Rasulullah SAW; pada suatu siang beliau pulang ke rumah sehabis dari perang dan belum makan apa-apa semenjak subuh. Beliau bertanya kepada istri beliau (_A'isyah ra), 'Wahai A'isyah, ada makanan apa hari ini.?'. A'isyah menjawab 'duhai Rasulullah, ketahuilah bahwa tidak ada asap yang mengepul di rumah ini sejak 3 hari yang lalu'. Mendengarkan jawaban seorang istri seperti ini, coba bayangkan hal ini terjadi di jaman sekarang.. Hmm,. kalau suami saya (*sekarang beliau masih dalam pencarian menemukan saya.. _ngeeex) insyaallah akan menjawab seperti Rasulullah SAW; 'kalau begitu hari ini aku puasa..'.
Itulah contoh yang begitu agung diberikan oleh Rasulullah SAW kepada kita.
Seperti yang pernah dilakukan Rasulullah SAW; pada suatu siang beliau pulang ke rumah sehabis dari perang dan belum makan apa-apa semenjak subuh. Beliau bertanya kepada istri beliau (_A'isyah ra), 'Wahai A'isyah, ada makanan apa hari ini.?'. A'isyah menjawab 'duhai Rasulullah, ketahuilah bahwa tidak ada asap yang mengepul di rumah ini sejak 3 hari yang lalu'. Mendengarkan jawaban seorang istri seperti ini, coba bayangkan hal ini terjadi di jaman sekarang.. Hmm,. kalau suami saya (*sekarang beliau masih dalam pencarian menemukan saya.. _ngeeex) insyaallah akan menjawab seperti Rasulullah SAW; 'kalau begitu hari ini aku puasa..'.
Itulah contoh yang begitu agung diberikan oleh Rasulullah SAW kepada kita.
2.
Amalan Yang Sah
Walau Tanpa Niat.
Berbagai amal ibadah yang mendatangkan
manfaat bagi pelakunya atau orang lain adalah contoh nyata dari amalan jenis
ini. Misalnya menolong orang kesusahan, menyambung tali silaturahmi, sedekah,
dan yang serupa. Dan diantara contoh amalan ini ialah amalan dalam bentuk
meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam syariat. Misalnya, bersuci dari najis,
mengembalikan barang rampasan, membayar hutang, dan yang semisal dengannya.
Bila kita mengamalkan amalan jenis ini tanpa niat, maka amalan kita sah alias
menggugurkan kewajiban, namun kita tidak mendapatkan pahala darinya.
Indahnya
ajaran Islam, bahkan sesuatu yang suaangat ringan tapi berat bernama niat,
memiliki nilai yang luar biasa. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah SAW.
bersabda, “Barangsiapa yang berniat untuk berbuat kebaikan tetapi tidak jadi
mengerjakannya, maka akan dituliskan untuknya 1 kebaikan (pahala) yang
sempurna, jika dia benar-benar mengerjakannya, maka Allah akan menuliskan
untuknya 10 hingga 700 kebaikan, bahkan bisa lebih banyak lagi. Barngsiapa yang
berniat untuk berbuat kejahatan tetapi tidak jadi mengerjakannya, maka akan
dituliskan untuknya 1 kebaikan yang sempurna, jika dia benar-benar
mengerjakannya, maka Allah (hanya) akan menuliskan 1 keburukan (dosa)
untuknya.”
(HR Bukhari & Muslim)
Saya
beri contoh, ketika kita berniat untuk bersedekah kepada seorang pengamen di
bis misalnya, truss kita ubek2 tas dan kantong mencari uang, eh ternyata dompet ketinggalan, gak jadi ngasih deh., insyaallah 1 pahala kita dapat. (trus pusing *ntar bayar bisnya pake apa ya...? tuingg). Berbeda
kalau misalkan contoh lain; kita ada niat dari pagi untuk mengikuti kajian sore nanti di Ulil Albab (_masjid)
dan tanpa ada halangan memang terlaksana niat tersebut, maka pahalanya tentu lebih banyak.
Beda
lagi kalau kita berniat buruk, ‘Wah, ntar
ujian.. hafalan, materinya buaanyak pula,.. hadehh pusing kepala.. bikin
contekan ah..’. Ketika soal sudah dihadapkan, ternyata bisa mengerjakannya
tanpa harus mengeluarkan contekan, (akibat dari bikin contekan malah jadi hafal).. atau nggak karena pengawasnya ndongkrok di
depan meja kita, jadi malu-malu gimanaa gitu untuk menyontek. Seperti ini,
insyaallah gak jadi dosa. Tapi jika
memang dari awal sudah dipersiapkan, kesempatan pun terbuka lebar, sehingga
menyontek bisa dilakukan dengan santai.. hmmm,, hanya 1 dosa kita dapat.
MasyaAllah
sekali yah...
Wallahu
a’lam..
----Perpus Pusat UII, 22 June 2012---
Ba’da Ashar
2 komentar:
Joss mba.., Semangat berdakwah fi sabilillah.
yak... trma kasih dukungannya mas bill...
semangatt..
Posting Komentar