Bismillah...
Segala puji tercurah hanya kepada Allah SWT..,
Melanjutkan lagi bahasan yang telah lalu;
sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Syaikh Manna' Al-Qaththan
----------------------------
ASBAB
AN-NUZUL
Al-Qur’an
diturunkan untuk membimbing manusia kepada tujuan yang terang dan jalan yang
lurus, menegakkan suatu kehidupan yang didasarkan kepada keimanan kepada Allah
dan risalah-Nya. Juga mengajarkan mereka dalam menyikapi sejarah masa lalu,
kejadian-kejadian kontemporer. Dan tentang berita-berita masa depan.
Sebagian
besar ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya diturunkan untuk tujuan umum ini.
Tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah saw telah menyaksikan banyak
peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang
masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk
mengetahui bagaimana hukum Islam dalam hal itu. Maka Al-Qur’an itu turun untuk
merespon peristiwa khusus tadi atau pertanyaan yang muncul itu. Hal-hal itu
yang disebut asbab an-nuzul.
Pedoman Mengetahui Asbab An-Nuzul
Untuk
mengetahui asbab an-nuzul secara shahih, para ulama berpegang kepada riwayat
shahih yang berasal dari Rasulullah saw atau dari sahabat. Sebab, pemberitaan
seorang sahabat mengenai hal ini, bila jelas, berarti bukan pendapatnya, tetapi
ia membpunyai hukum marfu’ (disandarkan
pada Rasulullah). Menurut Al-Wahidi, “Tidak diperbolehkan ‘main akal-akalan’
dalam asbab an-nuzul Al-Qur’an, kecuali berdasarkan pada riwayat atau mendengar
langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya
dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah
metodologi ulama salaf. Mereka amat berhati-hati mengatakan sesuatu mengenai
asbab an-nuzul, tanpa pengetahuan yang jelas.
Definisi asbab an-nuzul
Setelah
dikafi dengan cermat, sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1.
Jika terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur’an
mengenai peristiwa itu.
2.
Bila Rasulullah ditanya tentang sesutau hal, maka turunlah ayat
Al-Qur’an menerangkan hukumnya.
Tetapi hal
ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turunnya setiap ayat,
karena tidak semua auat Al-Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan
kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat Al-Qur’an
yang diturunkan karena sebagai ibtida’ (pendahuluan),
tentang akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan probadi
dan sosial.
Oleh sebab itu, maka Asbab An-Nuzul didefinisikan sebagai “Sesuatu
yang karenanya Al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang
terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.”
Jika asbab
an-nuzul itu bersifat khusus, sedang ayat itu turun berbentuk umum, maka para
ahli ushul berselisih pendapat, yang dijadikan pegangan itu apakah yang umum
atau sebab yang khusus.?
1.
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafazh
yang umum dan bukan sebab yang khusus. Suatu ayat yang diturunkan atas sebab
orang tertentu pada masa Rasulullah saw, tidaklah hanya berlaku kepada orang
tersebut, akan tetapi berlaku secara umum pada kasus yang serupa. Dan ayat yang
mempunyai sebab tertentu, jika berbentuk perintah atau larangan, disamping
berlaju kepada orang yang menjadi sebab turunnya auat itu, juga berlaku kepada
orang lain yang memiliki kedudukan sama dengannya. Demikian juga dengan ayat
berisi pujian atau celaan, dapat berlaku bagi orang yang menjadi penyebab dan
orang lain yang sama kedudukannya.
2.
Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah
kekhususan sebab, bukan lafazh yang umum. Karena lafazh yang umum itu
menunjukkan sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada
kasus selain yang menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti
qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu
mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya
pertanyaan dengan jawabannya.
Beberapa riwayat mengenai Asbab An-Nuzul
- Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti, “Ayat ini turun mengenai urusan ini,” atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini,” maka tidak ada yang kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu, sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah menafsirkan atau menjelaskan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya, bukan menyebutkan Asbab An-Nuzul, kecuali bila ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjuk kepada penjelasan Asbab An-Nuzul.
- Jika salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat lain menyebutkan Asbab An-Nuzul secara tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan secara tegas itu, dan riwayat yang tidak tegas dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbab an-nuzul:
“Istri-istrimu adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Al-Baqarah:
223)
Dari Nafi’
disebutkan, “Pada suatu hari aku membaca ayat ‘Istri-istrimu...,’ maka kata Ibnu Umar, “Tahukah engkau mengenai
apa ayat ini turun?” Aku menjawab, “Tidak.” Ia berkata; ‘Ayat ini turun
berkaitan dengan masalah mendatangi istri dari belakang (dubur).”(HR.
Al-Bukhari dan yang lain). Redaksi dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas
menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas
menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui
Jabir katanya, “Orang Yahudi berkata, Jika seorang laki-laki mendatangi
istrinya dari belakang, maka anaknya akan bermata juling. Maka turunlah ayat ‘Istri-istrimu adalah ibarat...’, Maka
riwayat Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan
pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibnu Umar, tidak demikian.
Karena itu ia dipandang sebagai penafsiran atau kesimpulan.
- Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, salah satu riwayat itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shahih.
- Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itu yang didahulukan.
- Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab itu berdekatan.
- Jika tetap tidak bisa dipadukan, maka dipandanglah ayat itu dirurunkan beberapa kali dan berulang.
Banyak Ayat Satu Sebab
Terkadang
banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada
masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai
surat berkenaan dengan suatu peristiwa. Contoh;
diriwayatkan dari Said bin Manshur, Abdurrazzaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir,
Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabrani dan Al-Hakim mengatakan shahih,
dari Ummu Salamah, ia berkata:
“Wahai
Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikit pun
mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: ‘Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman); Sesungguhnya Aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan; (karena0 sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain...” (Ali-Imran: 195)
Juga hadits
yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ath-Thabrani dan
Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah katanya, “Aku telah bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki?
‘Maka pada suatu haru aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar.
Beliau membacakan; ‘Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan muslim... sampai akhir ayat. (Al-Ahzab: 35)
Al-Hakim
meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Kaum laki-laki berperang sedang
perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengan bagian
dibanding laki-laki? Maka Allah menurunkan ayat; ‘Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain; karena bagi orang laki-laki
ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian
dari apa yang mereka usahakan pula...’(An-Nisaa’:32). Ketiga ayat di atas
turun karena satu sebab.
Ayat Lebih Dahulu Turun daripada Hukumnya
Dalam Al-Burhan (_nama kitab) disebutkan,
“Ketahuilah, turunnya suatu ayat itu terkadang mendahului hukum. Misalnya ayat,
‘Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri.’ (Al-A’la: 14). Ayat tersebut dijadikan dalil untuk
zakat fitrah.
Demikian
pula ayat yang turun di Makkah: “Golongan
itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur ke belakang.” (Al-Qamar: 45) Umar
bin Al-Khattab mengatakan, “Aku tidak mengerti golongan mana yang akan
dikalahkan itu. Namun ketika terjadi Perang Badar, aku melihat Rasulullah
berkata, “Golongan itu pasti akan
dikalahkan dan akan mundur ke belakang.”
Beberapa Ayat Turun Berkaitan dengan Satu Orang
Dari Sa’ad
bin Abi Waqash, ia berkata, “Ada empat ayat Al-Qur’an turun berkenaan denganku.
Pertama; Ketika ibuku bersumpah
bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu
Allah menurunkan ayat, “Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak ada
pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15). Kedua; Ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka
aku berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang
ini. Maka turunlah ayat; ‘Mereka bertanya
kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang.’ (Al-Anfal: 1). Ketiga; ketika aku sedang sakit,
Rasulullah mengunjungiku, aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku
ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya,?’ Beliau
menjawab, “Tidak boleh.” Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau sepertiga?’ Rasulullah
diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itu diperbolehkan. Keempat; ketika aku sedang meminum khamr (minuman keras) bersama kaum
Anshar, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang onta. Lalu
aku datang kepada Rasulullah, maka Allah swt menurunkan larangan minum khamr.”
Termasuk ke dalam kategori seperti kasus
ini adalah adanya kesesuaian sikap dan cara berpikir Umar dengan wahyu. Banyak
ayat yang turun berkenaan dengan pendapatnya.
------Perpus Pusat UII, 19 Desember 2012------
ba'da dluhur
0 komentar:
Posting Komentar