Bismillah..,,,
Segala
puji hanya untuk Allah SWT…,
_(Jum'at, 14 Desember 2012)., Hmmmhhhahhhh,,,,,, segarnya udara pagi di
rumah merasuk ke paru-paru. Duiingiiiinnnn rasanya berada satu tingkat di atas
dinginnya udara daerah Kaliurang yang berada di kawasan gunung Merapi. “Yuk tumbas jenang nggo sarapan.. (Yukk,,
beli bubur buat sarapan..,)” Ibu’ku yang the
best, tak pernah telat menyiapkan
sarapan pagi untuk keluarga tercinta.
Teringat dulu ketika masa-masa sekulah. Tiap pagi,
“sarapan sik,. Gek mangkat..!”. Di atas meja sudah tersedia lauk-pauk, kadang
ya tempe goreng, tahu goreng, telur goreng, lele goreng, ayam goreng, nasi
goreng, de-es-be. Tak lupa sayur mayur, tumis kacang panjang, tumis kangkung,
tumis kecambah, tumis tempe, tumis brokoli, dan berbagai tumis-tumisan sayur
lainnya. Ketika itu masih pilih2, doyannya hanya sayur tumis. Tidak pernah
absen, sebagai intinya adalah ‘sambel’ (hwe.??). Gantian, sambel tomat, sambel
terasi, sambel bawang, sambel korek (_bukan yang buat nyalain api lho..!),
de-es-be. Dan di reskuker, ketika tutup dibuka, bulllllllll... sumup-e mengepul,. Hmmmm,.. mak nyoossss
lah poko’e...
Sudah capek-capek menyiapkan semua itu,
beliau harus merasakan kekecewaan setiap pagi. Yah,, sudah banyak-banyak dimasakin,
saya makan palingan tiga-empat sendok. Terkadang, “wis telat buk... salim..” cium tangan, “assalamu’alaikum..!!” langsung
ngacir. Teriakan beliau mengejar, “sarapan
sik..! wis mateng ki lho..! kandani kon sarapan sik..! Ngeyel lho..!”.
Masa Orientasi Siswa (MOS), ritual gojlogan siswa baru. Peraturannya, di
antaranya adalah memakai atribut, dan membawa menu makanan sesuai dengan yang
sudah ditetapkan oleh senior. Para senior itu tak akan segan membentak, dan
menghukum anak2 baru yang melanggar. Bahkan untuk hal terkecil-pun. Sehingga tak
jarang ada anak baru yang asma-nya kambuh, jantungnya kambuh, tak terbiasa
diperlakukan kasar seperti itu.
Pagi itu, kesiangan. Gak sarapan, gak minum
susu, minum air putih aja enggak..
Sampai di jalan raya, hendak menyebrang, ada bis-‘ku’ lewat. Masih berhenti
menaikkan penumpang, sementara saya grusa-grusu nyebrang, mana jalannya ruame. Sampai
di tengah-tengah (pembatas jalan antara jalur ke Jogja dan ke Solo) eh, bisnya
berangkat. Haduuuhhhh telattt.... di saat galau seperti itu, “Nis.! Nis..! Iki
ketinggalan..!” teriakannya membahana. Orang-orang di pinggir jalan, yang lagi
nunggu bis (baik yang mau ke arah Jogja dan Solo), para tukang ojek, yang lagi
nongkrong di tempat penitipan sepeda, yang lagi bertransaksi burjo motor di
pinggir jalan, dan yang lagi berhenti karena lampu merah, semua melihat ke
sumber suara. Ibuk’ku,. dibelakangnya ada Pak Lik dengan motor kesayangannya.
Saya kembali, menyebrang jalan lagi,
menghampiri Ibu’. Beliau menyodorkan sebuah bungkusan, ku buka, dan terlihatlah
sebuah kotak makan, berwarna biru. “Iki,
koe ngko ndak diseneni kakak kelasmu..” beliau menerangkan. Ekspresi cemas,
khawatir, tergambar di guratan wajahnya. Belum sempat bertanya, isinya apa,,
dari kejauhan arah Jogja muncul bis Damri. Spontan, “enek bis buk., assalamu’alaikum..!”
dan saya sudah berada di sebrang jalan. Saatnya go to sekulah. Dalam hati, “ayo pak sopirr.... ngebut pak...,,!). Bisa
berabe ntar telat lagi.
Sampai di Kartosuro, bis mulai lengang. Yang tadinya
penuh sesak, mayoritas penumpangnya adalah karyawan pabrik di Kartosuro, dan
setengahnya lagi adalah anak2 siswa baru di sekolah2 di Solo. Hmmmm... dapat
tempat duduk.
Penasaran, “sing ketinggalan mau opo ya.?”. Ku buka kotak biru di pangkuanku. Baunya
menyeruak,. ternyata isinya adalah menu makanan yang harus dibawa pagi ini., ikan asin berkepala dua. Terbayang wajah
khawatir Ibu tadi. Terbayang bagaimana ibu tergesa meminta Pak Lik cepat
mengantarnya. Tertangkap maksud yang begitu mulia. Tak ingin anaknya diteriaki,
tak ingin anaknya dimarahi, tak ingin anaknya disakiti.
Cless... butiran hangat meleleh di pipi. Haru...
Ibu’ I
Love U.....
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman:14)
Kog, jadi sedih gini ya, ceritanya...
Hmmm.... gpp, diambil hikmahnya saja...
----------
Saatnya kembali ke Jogja. Seperti biasa,
wejangan Ibu’ sebelum melajukan motor, “ati-ati...
do’a sik..! ngko yen udah mandeg sik...! Yen wis tekan gek ngebell ya...!”
Sesuai dengan saran beliau, mantol sudah
dipakai dari rumah, persiapan kalo’ nanti tiba-tiba hujan. Terlihat mendung di
langit arah ke Jogja. Dengan mantol berkibar-kibar, menyusuri jalan, melewati
daerah-daerah yang ternyata berlangit cerah. Ke selatan lagi, agak
gerimis-gerimis. Terus ke selatan, ya, hanya gerimis dikit. Gak sampai kategori membasahi mantol.
Sudah dekat. Di pom Bensin daerah Besi,
teringat, ‘hari ini kan Rafiwati ngajar TPA.., sama siapa ya.. (biasanya
sendirian). Mampir dulu ah, sekalian jemput’. Sampai di depan masjid, terlihat
motornya de’ Icha. ‘O,, sudah bawa motor..(biasanya antar-jemput)’. Menyapa anak2
sebentar, lalu go to asrama.
Maghrib, di Ulil tercinta. Entah sensitifitas
hati lagi tinggi atau iman yang lagi down, seorang karib’ku mengucapkan
kata-kata. Agak perih di ulu hati.
“Allahu akbar.!” Mengikuti suara mas
Hasibuan, pertanda shalat maghrib dilaksanakan. Bersedekap,. Rasa pedih di hati
tadi semakin terasa. Menyesak. ’fokus...
fokus...’, gak bisa.!
Berbisik di hati, ‘dia tadi gak bermaksud... please deh..!’. Haduhh,,.. berusaha berbaik sangka, menenangkan
hati, berbagai kata-kata bijak. Masih juga terasa.! Perih, terbakar, gosong,
menganga,,. Haisshhhh...
Sampai akhirnya teringat, ‘ali bin abi thalib
ra., mengatakan, “Syarat pertemanan: menutup
mata pada kealpaan, berlapang dada
dalam bergaul, dan saling mengasihi dalam kesulitan”.
‘Menutup mata pada kealpaan’, ‘syarat
berteman adalah menutup mata pada kealpaan’,. Mengulang-ulang kalimat ini.
Berangsur, mak clesss.... adem...
Kalo’ bisa
digambarkan sih mungkin, kaya’ yang diiklan-iklan minuman itu
lho.., Pas lagi esmosi, muka merah padam, berkobaran api di dada, tiba-tiba ada
yang nempelin minuman dingin di pipinya. Cless...
Sperti itulah...
Berdiri lagi untuk rakaat kedua. Kembali bersedekap.
Rasanya hati ini sudah longgar..,. Kucari-cari..,’mana ya, sakitnya tadi.?? Mana
sakitnya tadi.?’..
Hilang...,
Alhamdulillah.....
--diambil hikmahnya saja...
_Begitulah cara syaithonirrojim meniupkan api
ke dalam hati manusia. Mengipas-ngipasnya, menambahkan garam dan cuka,
menjadikan benar-benar dalam kendalinya.
Waspadalah.!!
-----Perpus Pusat UII, 15 Des'12-----
11:28
0 komentar:
Posting Komentar