Sabtu, 05 Mei 2012

Sembarangan MENGKAFIRKAN orang_TIDAK BOLEH.!!

Posted by Nis |







KAPAN SEORANG MUKMIN MENJADI KAFIR KEMBALI

Kita telah mengetahui bagaimana proses seseorang untuk bisa dianggap sebagai penganut Dinullah Islam dan bisa berlindung di bawah payung iman. Dan kita juga talah mengetahui bahwa ditinjau dari kualitasnya, mereka itu terdiri dari beberapa tipe. Di antara mereka ada yang dikaruniai Allah SWT dengan iman yang teguh, sehingga ia meninggal dunia dalam keadaan membenarkan (mentashdiqkan) kalimat syahadat.

Barangsiapa yang mengucapkan, atau mengerjakan perkara-perkara yang menunjukkan keingkaran terhadap ikrar syahadatnya maka batallah syahadatnya dan keluarlah dia dari pintu Islam, dan wajib atas negara Islam memberlakukan hukum murtad bagi pelakunya, yaitu dimulai dengan menyuruhnya bertaubat sampai kepada menjatuhkan hukuman bunuh baginya jika tidak mau bertaubat. Dan jika dia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu (syahadatnya batal), maka tempat kembalinya adalah neraka.

Adapun bagi orang Mukmin yang melakukan perbuatan dosa, maka tidak batal imannya sekalipun dia belum bertaubat, jika tidak ada perkara2 yang membatalkan syahadatnya. Dan jika Allah menghendaki, maka diampuni –Nya-lah dia, dan jika Allah menghendaki lain, dimasukkan-Nya dia ke dalam neraka, kemudian dimasukkan-Nya pula ke dalam surga. Pernyataan seperti ini banyak didukung oleh hadits shahih yang menjelaskan bahwa Allah akan membebaskan dari neraka kepada orang-orang yang ada iman di dalam hatinya walau hanya sebesar zarrah, dan juga oleh firman Allah SWT.
Di antaranya adalah ayat berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا 
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (mempersekutukan sesuatu dengan Dia), dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-nya”. (An-Nisaa’: 116)

HAL YANG MEMBATALKAN IMAN
Dalam bahasan berikut ini, kita akan mengetahui bahwa perkara yang menjadi sebab keluarnya seseorang dari Islam (Dinullah ‘Azza wa Jalla) itu bervariasi jenisnya, yang semuanya dikembalikan kepada kaidah umum yang disebutkan tadi. Sebenarnya apabila kita rinci sat-persatu banyak sekali jenisnya, akan tetapi dapat kita sederhanakan menjadi empat jenis, yaitu:

1.      Mengingkari atau mencela sifat rububiyyah Allah SWT.
Kita telah mengetahui bahwa yang paling pertama di dalam tauhid adalah mentauhidkan Allah SWT pada rububiyyah-Nya dengan mengi’tikadkan diri bahwa Dia-lah Rabb semesta alam ini. Dialah yang mengurusnya dan memilikinya, Dialah Sang pemberi rezki, yang semuanya berjalan di bawah kekuasaan ilmu-nya, kebijaksanaan-Nya, serta kehendak-nya yang tidak terhingga. Maka setiap i’tikad, perkataan, dan perbuatan yang menunjukkan keingkaran terhadap hal-hal yang telah disebutkan di atas membawa pelakunya menjadi kafir dan murtad. Misalnya orang yang mengingkari bahwa semua mahluk itu ciptaan Allah SWT, orang yang menganggap adanya rezki yang datang dari selain Allah SWT, dan lain-lain. Selain itu, menjadi kufur pula orang yang menganggap bahwa sifat-sifat di atas juga dimiliki oleh yang selain Dia. Begitu juga orang yang mengakui dirinya sebagai pemilik , pemberi rezki, dan pengurus yang selain dari Allah SWT, atau bersaing dengan Allah SWT.

Contohnya apa yang dinyatakan oleh Fir’aun:
“(Seraya) berkata: ‘Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (An-Naazi’aat: 4)
Dan menjadi kafir juga orang-orang yang turut serta atau meyakini siapa saja yang membuat pengakuan tersebut.

2.      Mengingkari atau mencela asma Allah dan sifat-sifat-Nya.
Ada dua macam tindakan yang termasuk ke dalam kategori mengkafirkan sifat-sifat Allah dan asma-nya, yaitu: Kufur Nafyin dan Kufur Itsbat. 

Yang dimaksud kufur nafyin adalah meniadakan atau menafikan atau mengurangi sifat2 Allah, seperti menafikan ilmu-Nya, qudrat-Nya, atau sifat-sifat lainnya sebagaimana yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Juga termasuk menafikan sifat adalah mentakwilkan sifat Allah SWT dengan takwil (tafsir bebas) yang membatasi kesempurnaan Allah SWT. Misalnya orang yang mengakui bahwa Allah SWT itu bersifat ‘ilmu, tetapi menurutnya ‘ilmu-nya itu hanya bersifat ijmal (global; terbatas pada garis besarnya saja) dan tidak mengetahui secara tafsil (detail) nya. Dan tindakan lainnya yang tergolong kepada kufur nafyin ini adalah menyamakan sifat Allah SWT dengan difat makhluk.
Sedangkan yang dimaksud dengan kufur itsbat adalah menetapkan berbagai sifat kekurangan atau sifat yang mustahil bagi Allah SWT, padahal Allah SWT dan Rasul-nya telah menafikan sifat itu. Contohnya adalah orang-orang yang menyatakan bahwa Allah SWT itu mempunyai anak, isteri, atau sekutu-sekutu. Allah SWT itu juga punya sifat mengantuk, tidur, lalai, mati, dan sebagainya. Begitu pula orang yang mengaku mempunyai sifat seperti yang dimiliki Allah SWT, maka kafirlah orang yang berkata demikian dan kafir juga orang yang mempercayai perkataan tersebut.

3.      Mengingkari atau mencela sifat uluhiyyah Allah SWT.
Yang dimaksud adalah setiap perkataan atau perbuatan atau i’tikad yang arahnya untuk memungkiri kenyataan bahwa Allah SWT saja yang berhak disembah dengan haq, sedangkan yang lain dari pada-Nya tidak berhak disembah dan diibadahi. Maka barangsiap yang berkata atau beramal atau beri’tikad dengan cara yang bertentangan dengan uluhiyyah-Nya maka kafir dan murtadlah dia. Dan kekafiran macam inilah yang paling banyak terjadi di kalangan ummat manusia. Sesungguhnya kebanyakan manusia sejak dahulu kala hingga zaman super canggih ini mengakui tauhid rububiyyah dengan meyakini qudrat Allah SWT, urusan-Nya, rezki-Nya, dll. Mereka mengakui bahwa Dialah yang menghidupkan dan yang mematikannya, sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka!, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”. (Az-Zukhruf: 87)

4.      Mengingkari atau mencela Rasulullah SAW dan kerasulannya.
Yang dimaksud dengan tindakan ini adalah setiap perkataan atau perbuatan atau i’tikad yang menafikan atau mencela kerasulan atau pribadi orang yang menjadi Rasul SAW, atau mengingkari apa-apa yang diberitakan oleh Rasulullah SAW, seperti kebangkitan setelah mati, hari mahsyar, hisab, mizan, sirath, surga, neraka, dan lain-lain pemberitaan yang menyangkut masalah ghaib. Dikategorikan kekafiran sebab yang demikian itu termasuk tindakan yang membatalkan syahadat (kesaksian) bahwa Muhammad itu utusan Allah. Jadi sesungguhnya yang dimaksud dengan syahadat kerasulan adalah: “Membenarkan bahwa setiap apa yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW adalah haq dan benar, dan bahwa Muhammad SAW itu dilengkapi dengan berbagai sifat istimewa yang memungkinkan beliau sanggup memikul amanat risalah, serta menyampaikannya dalam penampilan sempurna”.
Ringkasnya, syahadat kerasulan dinyatakan batal oleh salah satu diantara dua perkara berikut:
-          Mengingkari atau mencela Rasulullah SAW.
-          Mengingkari atau mencela sebagian dari apa-apa yang diberitakan oleh Rasulullah SAW.
Pembatalan iman melalui keempat perkara tersebut berlaku dengan i’tikad perkataan dan perbuatan, yang berarti siapa saja yang melakukannya (baik dengan perkataan maupun perbuatan) maka batallah imannya dan keluarlah dia dari Dinullah (Islam), dan dengan demikian tidak sah-lah syahadatnya. Semoga Allah melindungi kita dari hal ini.
____________________




YANG MENGUATKAN
YANG MEMBATALKAN IMAN
KAJIAN RINCI DUA KALIMAH SYAHADAH
Dr. Muhammad Na’im Yasin



JANGAN SEMBARANGAN BERKATA, "DIA KAFIR"!

Bahasan terkait, berikut ini saya sajikan ringkasan kajian yang saya dapat dari sebuah stasiun radio;

Keimanan akan bertambah seiring meningkatnya ketakwaan, dan akan berkurang seiring banyaknya maksiat yang dilakukan dan berkurangnya amal kebaikan. 
Allah swt melarang 4 hal, yang dengan kata lain bisa disebut sebagai tingkatan dosa;
a) dosa dan perbuatan keji
b) melampaui batas
c) syirik
d) berkata tentang Allah swt tanpa ilmu. Ini adalah tingkatan dosa yang tertinggi.

Hal mengenai kafir-mengkafirkan seseorang, itu adalah hak Allah swt.
Tidak semua orang yang jatuh ke dalam kekufuran, bisa dikatakan orang itu kafir. –kisah seorang sahabat yang dikenal dengan mu’ad bin jabbal, ketika beliau pulang dari syam beliau lgsung sujud kepada Rasul saw, Rasul saw tidak mengatakan mu’ad untuk memperbaharui syahadatnya, namun beliau mengatkan bhwa jika Rasul saw memerintahkan 

Kisah; Ada seorang Budak perempuan yang ketika menyenandungkan nasyid, dia mengatakan, 'dan diantara kami ada seorang Rasul saw., yang mengetahui apa yang terjadi esok'. Ini adalah perkataan kufur, karena sebenarnya yang Maha Mengetahui hanyalah Allah SWT., Maka Rasul saw menegur budak tsb, akan tetapi beliau tidak mengkafirkannya atau menyuruhnya untuk memperbaharui syahadatnya.

Kisah zaatu anwat, ketika para sahabat yang baru masuk islam, dan baru saja keluar dari kemusyrikannya, mereka meminta kepada Rasul saw untuk membuatkan semacam dengan zaatu anwat tsb yang digunakan untuk menggantungkan senjata mereka supaya menjadi sakti. Rasul saw tidak kemudian mengkafirkan para sahabat tsb. Namun beliau mengatakan bahwa itu adalah perbuatan syirik, namun mereka tidak disebut sebagai musyrikin oleh Rasul saw.

Ketika ada seorang yang mengatakan ‘ya Allah swt engkau adl hambaku dan aku adlah tuhanmu’ Rasul saw mengatakan, orang ini keliru karena saking senangnya menemukan ontanya kembali dari padang pasir. Beliau tidak mengkafirkan orang tsb.

Ibnu thaimiah mengatakan, pengkafiran merupakan bab masalah ancaman. Bisa jadi orang yang berbuat kekufuran adalah orang yang baru masuk islam atau belum sampai kepadanya ilmu. Belum bisa dikatakan kafir sebelum ditegakkan hujjah.

Ibnu katsir; pengkafiran secara umum, adalah ancaman secara umum. Masalahnya, barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah swt maka dia musyrik. Hal ini adalah secara umum, tidak boleh dihukumkan secara individu. Adapun mengatakan ‘si fulan yang berdoa kpd selain Allah swt, dia syirik’, sebelum mengatakan hal tersebut, perlu ditegakkan hujjah terlebih dahulu dan dihilangkan syubhatnya.

Syarat2 pengkafiran secara umum;
a)      apabila org itu mengetahui apa yang dia katakan(berilmu), tegakkan dulu hujjah padanya. Jika salah, maka benarkan. Jika keliru maka luruskan. Tidak semua orang berhak mengkafirkan salah seorang dari kaum muslimin, baik berilmu atau tidak sebelum ditegakkan hujjah, brgsp yang sdh diyakini keislamanya, maka hal tersebut  tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, bahkan tidak akan mungkin dihukumi kafir sebelum ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhatnya. Sebagaimana kisah2 di atas, yangmana sahabat melakukan kekufuran karena belum ada ilmu padanya, dan juga karena tidak dalam kesengajaan/tanpa disengaja.
 Diceritakan oleh syekhul islam, ibnu Thaimiah, bahwa pada masanya ada firqah Jahmiah yang mereka memiliki keyakinan bahwa Allah swt bersatu dengan makhluknya dan Allah swt tidak berada di atas arsy, aku(Ibnu Thaimiah) berkata ‘seandainya aku mengatakan seperti yang kalian katakan maka aku kafir, namun menurutku kalian tidak kafir, karena kalian masih jahil’. Padahal para ulama lain telah mengkafirkan mereka. Abdull wahabb; seandainya aku tidak mengkafirkan orang yang sujud kepada kuburan abdul qadir jaelani, (itu) dikarenakan(menurutku) kejahilan mereka. Imam ahmad, beliau dipaksa oleh penguasa pada masa beliau, untuk mengatakan ‘Al-Qur'an adalah makhluk’, jelas beliau menolaknya, sehingga menyebabkan beliau dipenjara oleh penguasa tsb. Namun beliau tidak lantas mengkafirkan pemimpin tsb, atau memerintahkan untuk memberontak, karena disekeliling penguasa tsb ada para da’I penyesat umat.

b)     Atas pilihannya sendiri tanpa ada paksaan. Kisah sahabat Amar bin Yasin, orang tuanya dibunuh oleh  kafir quraisy karena tidak mau mengikuti perkataan mereka. Kemudian dia brtanya kepada Rasul saw mengenai bolehkah mengikuti kafir quraisy dengan mengatakan ‘lata dan uzza sebagai tuhan’ karena dipaksa? Beliau menjawab boleh asalkan hatinya tetap pada keimanan.

c)      mengucapkannya dengan sengaja(bukan karena keprucut/kelepasan). Seperti kisah di atas mengenai seorang yang keceplosan karena sangat gembiranya, kemudian salah dalam mengucapkan, maka tidaklah dia dihukumi kafir. Seperti halnya orang yang dalam keadaan marah yang kehilangan kendali. 

d) baligh. Ketika ada anak kecil(yang belum bisa membedakan antara baik dan buruk) mengatakan/melakukan perbuatan kufur, maka dia tidaklah kafir.

e) berakal. Artinya dalam kesadaran penuh dalam keadaan bisa berpikir, atas perbuatan yang dilakukan. Orang gila terbebas dari pengkafiran.
Wallahu a’lam.,




----Perpus Pusat UII, 05 Mei 2012----
02:53 pm

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger