Bismillah...
Segala puji
milik Allah Ta’ala.
Sempitnya hati
dan lemahnya iman, kadang membuat kita senantiasa terkungkung dalam angan. Ingin
bernasib sama dengan ‘mereka’, yang bisa ini-itu. Bisa sukses di usia muda, bisa
menjelajahi dunia kemanapun yang dia inginkan, bisa mendapatkan karir yang
mapan dan ber-sekian penghasilan, nikah
muda dan mendapatkan pasangan yang ideal, menurut kita hidup mereka itu sungguh
bahagia.
Hakekat kaya itu, di hati.! via: https://anisakhumaira.wordpress.com
Kita pun
menjadi latah,. Menargetkan ini-ono agar bahagia seperti ‘mereka’. Lalu tanpa
sadar kita juga telah menentukan standar bahagia, yaitu jika ini-ono yang kita
targetkan bisa tercapai. Kebahagian ‘seperti mereka’. Hati terasa sakit saat
melihat ‘mereka’ terus bergerak maju lagi dan lagi melesat meraih target2 yang
melebihi daftar impian kita. ‘Aku kapan.???’
Hingga suatu
saat tersadar jua, bahwa jalan kita dengan ‘mereka’ tidaklah sama. Allah
menciptakan manusia tentu dengan takdir yang masing2 berbeda. Mungkin dalam
satu hal bisa jadi sama. Yah.. tapi itu hanya satu dari sekiiiiiaaaaaaannnnnn
buanyak lainnya. Berbeda.
--------------------------------------------------
STANDAR KITA JELAS BEDA
Dunia sudah di tangan, masih saja merasa kurang. via: https://bochahlawu.wordpress.com/
Tentang rasa
resah kebanyakan manusia. Mengenai standar kebahagiaannya. Ada yang resah, ia
tak seperti kebanyakan manusia lainnya. Tidak memiliki ini dan itu. Tidak
berkesempatan pergi ke sana-sini. Tidak berpasangan dengan seorang yang begini
dan begitu. Tidak seceria dia dan dia.
Resahnya
menjadi ketika ceklis ‘tidak’ semakin
menderet. Keresahan ini menjelma menjadi kesedihan yang memperpuruk dirinya.
Yang akhirnya membuat kesimpulan, “saya tidak sebahagia orang lain”.
Kesalahan
mendasarnya adalah, membuat
standardisasi kebahagiaan dengan standar kebanyakan orang. Padahal
belum tentu orang ini atau orang itu benar-benar bahagia. Hanya tampilan di
luarnya saja. Bisa jadi seseorang yang kariernya melejit, tapi memiliki
permasalahan pada keluarganya. Titik ujiannya beda.
Buat standar
kebahagiaan hidupmu sendiri, dari apa yang kamu miliki. Bukan dari apa yang
dimiliki orang lain.
Jelas tidak
akan pernah bahagia jika selalu menyesalkan kehidupan kita tak sama dengan
kebanyakan hidup manusia lainnya. Usaha kita berbeda-beda, karena kehidupan
kita pun pasti beda. Standar kebahagiaan pun pasti beda.
Itulah
mengapa Tuhan meminta kita bersyukur dengan apa yang kita miliki. Bukan dengan
apa yang dimiliki orang lain.
Allah
menjanjikan kekayaan bagi kita yang bersyukur. Barangsiapa yang bersyukur, maka
akan Dia tambah. Tambah dan tambah hingga menjadi kaya. Kaya apa? Kaya akan
hati. Kaya karena menikmati segalanya. Jika semuanya telah dinikmati,
kebahagiaan adalah napas kehidupan. Adapun nikmat yang ada pada orang lain,
kita diminta untuk zuhud. Apa balasannya?
“Zuhudlah
terhadap dunia, pasti Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang di
tangan manusia, pasti manusia pun mencintaimu.”
(HR.
Ibnu Majah)
Cukupkan diri dengan yang dimiliki. via: https://pemudasalafy.wordpress.com/
Cantik
sekali bukan? Sesekali memang kita harus menutup mata dari pemandangan luar.
Meresapi runutan kehidupan sendiri. Setiap episodenya unik. Hanya dilalui oleh
seorang manusia bernama “aku”. Ya, Tuhan kita memberikan spesialisasi pada
setiap kehidupan hamba-Nya. Mahasuci Ia. Seorang customer service memberikan pelayanan yang seragam untuk setiap customer-nya. Tidak dengan Tuhan kita.
Di hadapan-Nya kita selalu dispesialkan. Episode hidup yang unik. Diri yang
komplikasi. Masihkah menyeragamkan standar kehidupan? Hidupmu beda, syukuri apa
yang menjadi kehidupanmu.
Sesekali
memang kita harus memejamkan mata. Menikmati setiap kehendak Tuhan, menikmati
kita di bawah bimbingan-Nya. Jika pahit,
sabarlah penawarnya. Jika manis, sungguh syukur akan membuat segalanya serasa MADU.
Crayon Untuk Pelangi Sabarmu ---karena
kesabaran perlu terus diteguhkan, ~Natisa
–penerbit; PT.elex media komputindo.
-------Jakarta, 20 Oktober 2015-------
Dzuhur satu jam lagi
0 komentar:
Posting Komentar