“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.”
(QS: Al-Baqarah Ayat: 177)
20/11/2014. Mendongakkan kepala, mencoba
menahan tumpahan airmata, agaknya sia2 belaka. Meleleh juga akhirnya. Jam
istirahat siang ini, gemuruh kembali terasa di hati. Membaca kisah yang makk
nyoss,. Penuh hikmah, pengingat diri. Postingan di google+.
----------------------------------------
Kejujuran sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi
barang langka dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan
segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten tidaklah
sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang berbenturan
dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap memegangnya, atau kita
biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah kejujuran yang sangat menyentuh hati,
dua orang anak kecil menjajakan tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti
belajar banyak tentang arti sebuah kejujuran.
Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka
makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas
jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan
tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang
untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan
keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa
tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih
Oom!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit
senyum seraya mengangguk ke arah mereka.
Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan,
menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang
penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya,
lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil
mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di
sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan
kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik
transparan.
Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati
mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka
terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit
Jakarta.
“Terima kasih ya mbak.. semuanya dua ribu lima ratus rupiah!”
tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah
sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliannya.. ada uang pas nggak mbak?” mereka
menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya
anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka
bertiga pada jarak empat meter.
“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya
mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya
merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar
empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata
“Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya
ke arah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan
menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman
saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan
uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang
“Sudah buat kamu saja, nggak apa-apa ambil saja!”, namun mereka berkeras
mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat
sini lagi saya kembalikan !”
Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi
meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu
digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan
berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang
ojek!”
“Eeh,, nggak usah.. nggak usah.. biar aja.. nih!” saya kasih uang
itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni
tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan
langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar
dulu.. sebentar.”
“Nggak apa apa, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan.. jangan
oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah.. saya
ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha membiarkan, namun ia
menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil
temannya untuk segera cepat.
Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari
ke arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi saya delapan
pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong “Habis teman saya lama sih oom, maaf,
tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.
Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya.
Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya.
Beberapa saat saya mematung disana, sampai si kecil telah kembali dengan
genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta
memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Om!” mereka kembali ke ujung
jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?”
suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi
ntar kita kasihin..”
Percakapan itu sayup-sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali
ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia
super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya terenyuh,
mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka
tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta-minta dengan
berdagang tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur
mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana.
Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil.
Semoga bermanfaat..
-----Jakarta, 21/11/2014-----
maksi, di meja kerja
0 komentar:
Posting Komentar